MANSHIYAT NASER —
Gerombolan lalat merubungi tumpukan sampah di rumah-rumah dan gang-gang, berdengung di tengah cuaca tengah hari yang panas. Seorang perempuan melongok dari jendela lantai dua sebuah bangunan dan dengan santai menjatuhkan kantong plastik hitam berisi sampah yang tumpah di lantai bawah. Bau yang menyeruak dari setiap sudut daerah kumuh di tengah ibukota Kairo itu cukup untuk menandai lokasi tersebut: Kota Sampah.
Mayoritas orang-orang yang bekerja dan tinggal di sini, menjadi pemulung dan melihat sampah yang masih bisa dapat dipakai, merupakan kelompok minoritas Kristen Koptik. Selama berpuluh tahun, komunitas Koptik menghadapi diskriminasi, membuat mereka sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Langkanya bahan bakar dan listrik serta inflasi dalam setahun terakhir memukul kelompok ini secara keras.
Para pemilik toko lokal mengatakan bisnis sangat buruk selama ini, dengan sulitnya membeli barang dan ketidakstabilan situasi keamanan. Namun yang paling sulit adalah diskriminasi yang dirasakan di bawah pemerintahan Mohamed Morsi yang baru-baru ini disingkirkan.
Pendeta Samaan mengatakan hidup di bawah pemerintahan Morsi sangat sulit.
"Tidak ada keadilan. Mesir dipenuhi preman, ada kerusuhan, perampokan dan penculikan," ujarnya.
Selain itu, gereja-gereja Koptik diserang dan warga Kristen dibunuh. Pendeta Samaan mengatakan diskriminasi ada di segala bidang, dan orang Kristen sulit mencari kerja.
Di bawah pemerintahan Morsi, orang Kristen terlalu takut untuk berbicara, ujar Iskander Thabet, seorang pengusaha lokal.
"Sekarang keadannya jauh berbeda dibanding setahun belakangan," ujarnya.
"Saat itu kami hidup dalam ketakutan besar, horor, kami selalu khawatir. Kami takut mengatakan bahwa kami Kristen. Mereka akan mengatakan hal yang buruk mengenai saudara perempuan kami, istri-istri atau anak-anak perempuan kami, karena pakaian kami berbeda. Apa yang kami lalui sangat sulit," ujar Thabet.
Namun kekerasan sektarian telah meningkat secara dramatis di Mesir dalam beberapa minggu terakhir, dan lagi-lagi kelompok Koptik jadi target utama. Kelompok Ikhwanul Muslim telah menyalahkan komunitas Koptik sebagai salah satu dari mereka yang mendukung kudeta militer atas Morsi pada 3 Juli.
Erin Evers dari lembaga advokasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) di Kairo, mengatakan orang-orang Koptik sekarang diserang karena agamanya dan karena mereka dilihat sebagai penentang paling nyata terhadap Morsi.
Evers mengatakan HRW khawatir dengan peningkatan insiden sektarian dalam beberapa minggu terakhir.
"Hal ini berlangsung di seluruh Mesir, tidak lagi berkonsentrasi di utara atau selatan, tapi di kota-kota seluruh Mesir, di lima kota yang berbeda sejauh ini. Dalam beberapa peristiwa, jelas kekerasan itu dilakukan oleh para pendukung Morsi, dalam peristiwa yang lain tidak jelas siapa pelakunya," ujarnya.
Evers mengatakan negara itu masih memiliki rasa nasionalisme, namun ia melihat bahwa seiring mulai ambruknya tatanan politis Mesir di bawah tekanan demonstrasi dan ketiadaan hukum yang terus menerus, xenofobia menjadi meningkat.
Meski demikian, mahasiswi farmasi Hanat, yang memakai celana jins dan rambut ekor kuda, mengatakan sebagai umat Koptik ia merasa ada kelegaan karena kelompok Islamis tidak lagi berkuasa, dan ia menyambut kudeta militer atas Morsi.
"Sekarang dengan adanya militer di pihak kami, kami merasa lebih aman. Kami merasa Mesir telah kembali pada kami, dan kami mendapat kekuatan kami kembali. Saya merasa telah diikat selama ini dan sekarang saya bebas. Mesir telah kembali pada kita," ujar Hanat.
Pendeta Samaan, meski memiliki harapan dengan banyak komunitas Koptik lain bahwa kehidupan akan membaik di bawah pemerintahan baru, mengatakan ada langkah-langkah nyata yang harus diambil untuk mengakhiri diskriminasi. Pertama, ujarnya, konstitusi yang baru harus sekuler, dan kedua, referensi apapun terhadap agama harus dihapuskan dari kartu tanda identitas nasional.
“Kami masih terus mendoakan Mesir yang besar ini, negara yang disebut ibu dari dunia, akan menjadi model untuk non-diskriminasi di dunia, tempat agama hanya untuk Tuhan dan tanah air ini adalah untuk semua orang," ujarnya.
Mayoritas orang-orang yang bekerja dan tinggal di sini, menjadi pemulung dan melihat sampah yang masih bisa dapat dipakai, merupakan kelompok minoritas Kristen Koptik. Selama berpuluh tahun, komunitas Koptik menghadapi diskriminasi, membuat mereka sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Langkanya bahan bakar dan listrik serta inflasi dalam setahun terakhir memukul kelompok ini secara keras.
Para pemilik toko lokal mengatakan bisnis sangat buruk selama ini, dengan sulitnya membeli barang dan ketidakstabilan situasi keamanan. Namun yang paling sulit adalah diskriminasi yang dirasakan di bawah pemerintahan Mohamed Morsi yang baru-baru ini disingkirkan.
Pendeta Samaan mengatakan hidup di bawah pemerintahan Morsi sangat sulit.
"Tidak ada keadilan. Mesir dipenuhi preman, ada kerusuhan, perampokan dan penculikan," ujarnya.
Selain itu, gereja-gereja Koptik diserang dan warga Kristen dibunuh. Pendeta Samaan mengatakan diskriminasi ada di segala bidang, dan orang Kristen sulit mencari kerja.
Di bawah pemerintahan Morsi, orang Kristen terlalu takut untuk berbicara, ujar Iskander Thabet, seorang pengusaha lokal.
"Sekarang keadannya jauh berbeda dibanding setahun belakangan," ujarnya.
"Saat itu kami hidup dalam ketakutan besar, horor, kami selalu khawatir. Kami takut mengatakan bahwa kami Kristen. Mereka akan mengatakan hal yang buruk mengenai saudara perempuan kami, istri-istri atau anak-anak perempuan kami, karena pakaian kami berbeda. Apa yang kami lalui sangat sulit," ujar Thabet.
Namun kekerasan sektarian telah meningkat secara dramatis di Mesir dalam beberapa minggu terakhir, dan lagi-lagi kelompok Koptik jadi target utama. Kelompok Ikhwanul Muslim telah menyalahkan komunitas Koptik sebagai salah satu dari mereka yang mendukung kudeta militer atas Morsi pada 3 Juli.
Erin Evers dari lembaga advokasi hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) di Kairo, mengatakan orang-orang Koptik sekarang diserang karena agamanya dan karena mereka dilihat sebagai penentang paling nyata terhadap Morsi.
Evers mengatakan HRW khawatir dengan peningkatan insiden sektarian dalam beberapa minggu terakhir.
"Hal ini berlangsung di seluruh Mesir, tidak lagi berkonsentrasi di utara atau selatan, tapi di kota-kota seluruh Mesir, di lima kota yang berbeda sejauh ini. Dalam beberapa peristiwa, jelas kekerasan itu dilakukan oleh para pendukung Morsi, dalam peristiwa yang lain tidak jelas siapa pelakunya," ujarnya.
Evers mengatakan negara itu masih memiliki rasa nasionalisme, namun ia melihat bahwa seiring mulai ambruknya tatanan politis Mesir di bawah tekanan demonstrasi dan ketiadaan hukum yang terus menerus, xenofobia menjadi meningkat.
Meski demikian, mahasiswi farmasi Hanat, yang memakai celana jins dan rambut ekor kuda, mengatakan sebagai umat Koptik ia merasa ada kelegaan karena kelompok Islamis tidak lagi berkuasa, dan ia menyambut kudeta militer atas Morsi.
"Sekarang dengan adanya militer di pihak kami, kami merasa lebih aman. Kami merasa Mesir telah kembali pada kami, dan kami mendapat kekuatan kami kembali. Saya merasa telah diikat selama ini dan sekarang saya bebas. Mesir telah kembali pada kita," ujar Hanat.
Pendeta Samaan, meski memiliki harapan dengan banyak komunitas Koptik lain bahwa kehidupan akan membaik di bawah pemerintahan baru, mengatakan ada langkah-langkah nyata yang harus diambil untuk mengakhiri diskriminasi. Pertama, ujarnya, konstitusi yang baru harus sekuler, dan kedua, referensi apapun terhadap agama harus dihapuskan dari kartu tanda identitas nasional.
“Kami masih terus mendoakan Mesir yang besar ini, negara yang disebut ibu dari dunia, akan menjadi model untuk non-diskriminasi di dunia, tempat agama hanya untuk Tuhan dan tanah air ini adalah untuk semua orang," ujarnya.