Kelompok Hak Asasi Manusia Internasional, Jumat (24/1), menuntut pembicaraan damai antara Amerika dan Taliban di Afghanistan harus mencakup komitmen kedua pihak untuk mengakhiri semua serangan terhadap warga sipil, sesuai dengan hukum perang.
Amnesty International dalam sebuah pernyataan menyesalkan, korban sipil tetap pada tingkat yang hampir mencapai rekor di Afghanistan dan menyalahkan pasukan pro-pemerintah, termasuk mitra koalisi yang dipimpin AS dan pemberontak Taliban.
"Mereka harus berkomitmen untuk melindungi warga sipil dan semua serangan terhadap warga sipil harus diselidiki dan dituntut," kata Amnesty International.
Pernyataan itu muncul sementara perwakilan Amerika dan Taliban mengadakan pertemuan tertutup di Qatar selama beberapa minggu terakhir, untuk melanjutkan perundingan mereka yang buntu guna menyimpulkan kesepakatan yang lama dinanti-nantikan. Namun sejauh ini belum ada kemajuan karena kedua pihak yang bermusuhan dalam perang Afghanistan, yang sudah berlangsung 18 tahun itu tampaknya tidak bersedia mengubah sikapnya.
Amerika menginginkan penurunan kekerasan gerilyawan yang "signifikan dan abadi" sebelum kesepakatan ditandatangani, diikuti dengan pengurangan permusuhan oleh semua pihak untuk membuka jalan bagi dimulainya perundingan Taliban-Afghanistan terkait gencatan senjata di seluruh negeri dan pembagian kekuasaan .
Namun, kelompok pemberontak menawarkan mengurangi serangan di medan perang untuk waktu yang singkat, kabarnya hingga 10 hari, dengan mengatakan gencatan senjata yang luas dengan pasukan pemerintah Afghanistan akan menjadi salah satu topik perundingan pihak-pihak di dalam negeri Afghanistan.
Taliban dalam sebuah pernyataan awal pekan ini menuduh Amerika membuang-buang waktu dengan membuat tuntutan baru dan mengatakan kelompok pemberontak telah "menunjukkan fleksibilitas" dan sekarang keputusan ada ditangan Amerika.
"Dalam konflik yang diwarnai serangan-serangan terhadap warga sipil, istilah pengurangan kekerasan tidak masuk akal. Tidak ada tingkat kekerasan yang bisa diterima," kata Omar Waraich, Direktur Asia Selatan di Amnesty International. [my/pp]