Setidaknya dua orang tewas dan sejumlah lainnya luka-luka ketika sekelompok orang bersenjata di Haiti menembaki wartawan yang sedang berkumpul untuk mengikuti konferensi pers pemerintah pada Selasa (23/12).
Seorang saksi mata serangan itu mengatakan kepada Reuters bahwa pemerintah sedianya akan mengumumkan pembukaan kembali rumah sakit umum terbesar di Haiti.
Seorang wartawan dan seorang petugas polisi tewas, kata seorang wartawan lain di lokasi kejadian yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.
Polisi nasional Haiti tidak segera menanggapi permintaan informasi dari Reuters.
Serangan itu terjadi ketika geng-geng bersenjata menguasai wilayah di Haiti, di tengah kekurangan sumber daya personel pasukan keamanan dan minimnya tanggapan internasional serta setelah terjadinya beberapa pembunuhan massal di ibu kota dan daerah pedesaan sekitarnya.
Dewan transisi kepresidenan Haiti menulis di Facebook bahwa tindakan tersebut tidak akan berjalan tanpa konsekuensi.
“Kami menyampaikan simpati kami kepada seluruh keluarga korban, khususnya kepada Kepolisian Nasional Haiti dan semua asosiasi wartawan,” katanya, tanpa memastikan jumlah korban tewas.
Para wartawan diminta tiba di rumah sakit mulai pukul 08.00 pagi untuk menghadiri konferensi pers di pusat kota ibu kota Haiti, Port-au-Prince, bersama menteri kesehatan baru Haiti, Duckenson Lorthe Blema. Saat sedang menunggu kedatangan menteri tersebut, terjadi penembakan.
Blema dilantik menjadi menteri kesehatan pada November lalu dalam perombakan kabinet setelah tergulingnya mantan Perdana Menteri Garry Conille. Conille menjabat selama enam bulan.
Hanya 24 Persen Faskes Beroperasi
Rumah Sakit Universitas Negeri Haiti adalah rumah sakit umum terbesar di negara itu yang terpaksa ditutup sejak terjadinya gelombang serangan kelompok kriminal yang memicu penggulingan mantan Perdana Menteri Ariel Henry pada Maret lalu.
Rumah sakit ini berada di pusat kota Port-au-Prince, hanya sepelemparan batu dari alun-alun pusat Champ de Mars, sebuah kawasan yang sering terjadi baku tembak dan bentrokan antara polisi dan aliansi geng di seluruh kota yang dikenal sebagai Viv Ansanm.
Kelompok-kelompok kriminal diperkirakan menguasai sekitar 80-90 persen ibu kota, sementara negara-negara tetangga lambat dalam memenuhi janji dukungan keamanan untuk negara Karibia tersebut.
Misi internasional yang disetujui tahun lalu sejauh ini hanya mengerahkan sebagian kecil pasukan, sementara seruan Haiti untuk menopang sumber daya dengan mengubahnya menjadi pasukan penjaga perdamaian mendapat tentangan di Dewan Keamanan PBB.
Menurut laporan terbaru PBB, hanya 24 persen asilitas kesehatan di wilayah metropolitan Port-au-Prince yang saat ini beroperasi. [em/ab]
Forum