Tautan-tautan Akses

Kedai Kopi Terdampak Pandemi dan Protes di AS, Vivit Kavi: "Terharu, Terkejut atas Support Luar Biasa"


Vivit Kavi, pemilik kedai Dua Coffee di Washington, D.C. melaporkan perusakan kepada polisi (dok: Vivit Kavi)
Vivit Kavi, pemilik kedai Dua Coffee di Washington, D.C. melaporkan perusakan kepada polisi (dok: Vivit Kavi)

Tidak hanya terdampak penutupan akibat pandemi COVID-19, belum lama ini kedai kopi milik warga Indonesia, Vivit Kavi, di Washington, D.C. terkena imbas kerusuhan akibat protes besar-besaran terkait tewasnya warga kulit hitam, George Floyd.

Demonstrasi besar-besaran terkait tewasnya warga kulit hitam, George Floyd saat dalam penahanan polisi masih terus berlangsung di berbagai negara bagian dan ibu kota Washington, D.C. di Amerika Serikat.

Demonstrasi yang berawal damai ini, beberapa waktu lalu sempat beralih menjadi kerusuhan, vandalisme, bahkan penjarahan, termasuk di pusat kota Washington, D.C., yang dilakukan oleh sekelompok orang.

Dampak kerusuhan akibat demonstrasi ini ikut dirasakan oleh Vivit Kavi, salah seorang pemilik kedai kopi, Dua Coffee, yang menjual specialty coffee dari Indonesia dan beberapa negara lain, yang lokasinya hanya beberapa blok dari gedung putih, tempat berlangsungnya demonstrasi di Washington, D.C.

Kepada VOA, Vivit mengaku mengetahui kedainya terdampak kerusuhan melalui berita di salah satu stasiun TV di Amerika di pagi hari.

“Langsung lutut lemes banget,” cerita Vivit Kavi kepada VOA.

“Kita langsung melihat di salah satu stasiun TV berita di Amerika itu di zoom, di zoom banget gambarnya, persis di toko kami. Kaca kami pecah dan kaca kami itu ukurannya itu kurang lebih 8 dan 9 feet (red: 2,4 - 2,7 meter). Itu cukup bahkan untuk seorang pemain basket untuk melewati itu. Dan itu kami udah deg-degan banget. Kenapa? Karena itu banyak mesin kopi yang bisa dibilang jantung sebuah coffee shop,” tambahnya.

Saat melihat rekaman CCTV, ia mendengar ada “hentakan sangat keras” sekitar pukul 12:30 dini hari. Ia pun bergegas menuju ke kedai kopinya untuk memeriksa. Dengan hati-hati, dia menyusuri daerah sekitar kedainya sambil mengamati toko-toko yang hancur dan bahkan sampai dijarah. Salah satunya sebuah kedai es krim yang tak jauh dari kedainya.

“Itu sudah hancur total. Semua kaca, ada tiga panel pecah semua dan dipecahin sama skuter. Dijarah habis,” ujarnya saat mengingat kembali pengamatannnya waktu itu.

Dinding kaca Dua Coffee yang terdampak kerusuhan akibat demonstrasi George Floyd di Washington, D.C. (dok: Vivit Kavi)
Dinding kaca Dua Coffee yang terdampak kerusuhan akibat demonstrasi George Floyd di Washington, D.C. (dok: Vivit Kavi)

Namun, Dua Coffee bercerita lain. Dinding kacanya ternyata tidak sepenuhnya hancur, karena terlindungi oleh lapisan kaca ke-2 “yang tetap masih berdiri kokoh, tidak runtuh sama sekali.”

“Alhamdulillah, loh kok bisa ada lubang gede, tapi aman semua. Rapih semuanya seperti saat sedia kala kita tinggalkan beberapa jam sebelumnya,” jelasnya sambil bersyukur.

Kedai kopi yang baru beroperasi selama enam bulan ini memang sedang tutup sejak awal Maret lalu, di saat bisnis dan perkantoran di sekitar kedainya mulai tutup akibat pandemi Covid-19.

Namun, satu hari sebelum kejadian, akhirnya mereka buka kembali untuk pertama kalinya selama beberapa jam, hanya untuk melayani pesan antar dan bawa pulang.

“Kita enggak nyangka animonya luar biasa. Di hari pertama kita buka itu enggak nyangka penuh terus. Jadi kita sayang aja, pengin bisa serve customer kami,” katanya.

Di hari tersebut, Vivit menjadi salah satu saksi yang melihat kehadiran para pengunjuk rasa yang bagaikan “lautan manusia,” hanya sekitar satu blok dari kedainya, pukul 4 sore. Protes pun terus berlanjut hingga hingga larut malam, yang berakhir dengan pembakaran, perusakan, dan penjarahan.

Tahap pertama yang Vivit lakukan setelah mengecek kondisi kedainya adalah menghubungi pihak asuransi dan pemilik gedung untuk melaporkan insiden tersebut. Seorang polisi pun lalu menganjurkannya untuk menelpon pusat bantuan darurat 911.

“Terus saya bingung, 911 kenapa nelponnya sekarang?” ujarnya.

Vivit Kavi saat melaporkan kejadian kepada polisi di Washington, D.C. (Dok: Vivit Kavi)
Vivit Kavi saat melaporkan kejadian kepada polisi di Washington, D.C. (Dok: Vivit Kavi)

Setelah dijelaskan, ternyata hal ini bertujuan agar ia bisa mendaftarkan insiden ini, untuk mendapatkan nomor laporan yang bisa diakses oleh berbagai pihak yang membutuhkan. Salah satunya pihak asuransi yang nantinya akan memberikan penggantian sepenuhnya atas biaya yang dikeluarkan, untuk memperbaiki kedainya.

“Langsung ada police officer datang khusus karena saya telah menelpon 911. Lalu dia melihat (dan) setelah melihat damage (red: kerusakan), dia langsung membuat catatan dan memberikan kami nomor. Dia bilang, nomor ini bisa kamu pakai untuk klaim apa pun yang berhubungan dengan destruction due to vandalism gitu destruction due to riot (red: perusakan akibat vandalisme dan kerusuhan),” jelasnya.

Tidak hanya polisi, namun detektif juga ikut datang untuk menanyakan kronologis kejadian yang menimpa kedainya.

Dukungan “Luar Biasa” Datang Dari Berbagai Penjuru Pasca Insiden

Berbagai dukungan terhadap Dua Coffee pun membanjiri media sosial. Dukungan yang menurut Vivit sungguh “luar biasa” ini datang dari berbagai penjuru, mulai dari WNI di berbagai negara bagian, juga yang tinggal di Indonesia, hingga pihak pemerintah yang menawarkan bala bantuan.

Asih Schaff (kiri) dan Diana Dunham (kanan), pelanggan Dua Coffee di Washington, D.C. (dok: Asih Schaff)
Asih Schaff (kiri) dan Diana Dunham (kanan), pelanggan Dua Coffee di Washington, D.C. (dok: Asih Schaff)

Para pelanggan setia kedai kopi ini pun ikut merasa khawatir dan prihatin atas kejadian ini.

“Kaget dan prihatin saya. Apalagi karena baru aja buka lagi. Terus saya (berpikir), kapan kejadiannya, seberapa parah, ada yg hilang atau rusak enggak equipment atau barang-barang di dalam. Most important, apakah ada pekerja atau customer Dua yg injured,” ujar Asih Schaff, salah seorang pelanggan setia asal Indonesia yang bekerja tak jauh dari kedai Dua Coffee.

“Aku dengar berita tentang Dua Coffee, dan sedih karena mereka baru saja buka, re-opening hari kedua. Tapi aku bersyukur enggak ada korban,” ujar Diandra Soemardi, kandidat PhD bidang Kimia asal Indonesia di University of Maryland di negara bagian Maryland, AS.

Telepon Vivit pun juga terus berdering dan dipenuhi oleh pesan singkat yang turut menyemangatinya. Beberapa warga setempat bahkan menawarkan untuk menggalang dana, untuk membetulkan kaca dinding kedainya.

“Di tengah-tengah musibah seperti ini, itu justru menjadi pemicu orang-orang untuk, Masya Allah, berbuat baiknya lebih dari yang kita sangka,” kata Vivit yang mengaku sangat terharu atas dukungan yang ia terima di masa sulit ini.

Yang juga membuatnya terharu adalah ketika ada seorang warga lokal Amerika datang membawa kantong sampah, sapu kecil dan pengki, untuk membantu membersihkan serpihan kaca di depan kedainya.

“(Katanya), ini hanyalah hal kecil yang bisa saya lakukan untuk berterima kasih kepada kamu. (Saya bilang) Untuk apa? (Katanya), karena kamu telah menghadirkan kebahagiaan di komunitas kami. Kamu memberikan cahaya dalam kehidupan kami,” kenang Vivit dengan penuh haru.

“Saya kalau ingat, saya pengin nangis banget gitu. Orangnya baik banget. Namanya James. Terus saya bilang, Ya Allah, dengan kejadian seperti ini kok orang baik tuh muncul di mana-mana gitu,” tambahnya.

Kondisi kedai Dua Coffee pasca kerusuhan akibat demonstrasi George Floyd di AS (dok: Vivit Kavi)
Kondisi kedai Dua Coffee pasca kerusuhan akibat demonstrasi George Floyd di AS (dok: Vivit Kavi)

Setelah kejadian ini, Vivit mengatakan tidak berniat untuk mengusut pelaku perusakan kedainya.

“Dua Coffee itu dibangun dari energi yang sangat positif. Kami tidak mau mencemarkan energi positif tersebut hanya untuk menuntut atau mengusut siapa pun yang membuat kerusakan di bahkan beberapa menit dalam selama enam bulan kami beroperasi. Jadi lebih baik tenaga itu kami curahkan atau kita alihkan ke hal yang lebih positif, seperti membalas segala kebaikan dari hati customer kami.”

Berjuang Untuk Bangkit di Tengah Pandemi COVID-19

Bukan hanya musibah perusakan kaca kedainya yang harus Vivit pikirkan, karena ia juga masih harus berjuang untuk membangkitkan bisnisnya di tengah pandemi Covid-19. Dampak pandemi ini sangat dirasakan oleh para pemilik usaha kecil atau usaha yang memiliki jumlah pegawai kurang dari 500 orang di Amerika Serikat.

Berdasarkan hasil survey National Small Business Association yang mewakili 65 ribu pemilik usaha kecil di Amerika Serikat, 92 persen pemilik usaha kecil merasa khawatir akan dampak ekonomi pandemi ini terhadap bisnis mereka. Delapan puluh persen bahkan mengatakan telah mengalami penurunan jumlah pelanggan sebanyak 49 persen sejak Maret lalu.

Diandra Soemardi, kandidat PhD bidang kimia di University of Maryland, AS (dok: Diandra Soemardi)
Diandra Soemardi, kandidat PhD bidang kimia di University of Maryland, AS (dok: Diandra Soemardi)

SATGAS COVID-19 Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat atau PERMIAS di tingkat Nasional ikut ambil bagian dalam membantu para pebisnis asal Indonesia di Amerika Serikat yang terdampak pandemi, dengan merilis daftar restoran dan kafe yang milik warga Indonesia, di seluruh Amerika Serikat, melalui situsnya. Dua Coffee ikut tercantum di dalamnya.

“Tujuan kita untuk promote dan mengajak teman-teman untuk support bisnis-bisnis dari diaspora Indonesia yang terdampak pandemi COVID,” jelas Diandra Soemardi, yang juga adalah Koordinator Bidang Pengumpulan Data dan Penjangkauan Anggota untuk SATGAS COVID-19 Permias Nasional.

“Kita masih bisa support small local business, kok. Aku sendiri jadi rajin beli coffee beans dari Dua,” tambah Diandra kepada VOA.

Sebagai pemilik bisnis, Vivit mengatakan telah mendapat bantuan cuma-cuma “micro grant” dari pemerintah kota Washington, D.C., yang jumlahnya disesuaikan dengan masing-masing bisnis.

“Berbeda-beda jumlahnya, tetapi itu memang bisa dibilang sih cukup untuk menutup operasional saja. Tapi, bukan untuk menutup sewa gedung, membayar gaji karyawan. Itu belum cukup," jelas perempuan yang juga berprofesi sebagai presenter dan praktisi komunikasi di Indonesia ini.

Walaupun kedainya tutup, Vivit tetap harus membayar sewa gedung. Namun, situasi pandemi membuatnya memperoleh keringanan dari pemilik gedung.

“Saat saya menjelaskan kondisi kami seperti apa, kita bukan bisnis esensial, terus kita juga tidak bisa take away terus selama ini kita juga, online revenue kita turun 50-70 persen. Dari situ dia baru memberikan keringanan, satu dari segi jumlah per bulannya berkurang, dan dia bilang ya udah segitu aja dulu deh yang kalian mampu bayar, setelah itu kita diskusikan lagi.”

Namun, situasi pandemi seperti sekarang ini tidak membuat Vivit tinggal diam. Ia malah menjadi semakin bersemangat dan terdorong untuk berinovasi dalam menjalankan bisnisnya.

Salah satunya dengan berjualan beragam biji kopi lewat online, mulai dari yang berasal dari Flores dan Jawa Barat, yang telah membawa nama kedainya, hingga ke berbagai negara bagian di Amerika Serikat. Ia juga mengembangkan produknya dengan menjual minuman botol yang bisa dinikmati oleh para pelanggannya di rumah.

“Saya sangat terharu, terkejut, bahagia dengan support (pelanggan) yang luar biasa," ujarnya.

Para pelanggan setianya kerap membesarkan hatinya dan berkata, “kita akan langsung menyerbu kalian pada saat kalian buka.”

“Alhamdulillah, sekarang platform online, platform virtual itu (tidak hanya) menjadi penyambung dari kehangatan yang selama ini bisa dirasakan di dalam toko, tapi ternyata Alhamdulillah bisa dirasakan melalui medium virtual tersebut,” katanya sambil bersyukur.

Selain itu Vivit berencana untuk mengadakan pertemuan virtual dengan para pelanggannya untuk mengajarkan cara menyeduh kopi di rumah, juga mengadakan tur virtual ke kebun kopi.

“Jadi orang lagi minum West Java Kamojang, mereka juga melihat suasana gunung Puntang seperti apa. Itu tidak akan bisa berlangsung kalau tidak ada COVID-19, sehingga semua orang hanya menggunakan atau mengandalkan kehidupan sehari-harinya dengan platform virtual,” jelasnya.

Terkait dengan pandemi dan juga insiden yang terjadi di kedinya, tak lupa Vivit berterima kasih dan mendoakan teman-teman yang sudah mencurahkan perhatian dan dukungan kepadanya.

Harapan Vivit setelah nanti bisa kembali membuka pintu kedainya dan setelah pandemi ini berakhir adalah untuk terus berinovasi demi membahagiakan pelanggannya atau seperti katanya, “to put a smile on their faces everyday,” atau menebar senyum pada wajah mereka.

Seperti kata pelanggan Dua Coffee, Asih Schaff, "Semoga (Dua Coffee) bisa segera buka. Para pelanggan sudah rindu!" [di]

XS
SM
MD
LG