Pemilihan Umum 2019 sudah berlangsung pada 17 April lalu, namun suhu politik justru memanas. Pasalnya karena muncul tudingan bahwa kubu petahana yang tengah berkuasa melakukan kecurangan secara masif, sistematis, dan terstruktur. Situasi ini memunculkan ketegangan dan kecemasan akan stabilitas keamanan.
Hal ini menjadi isu utama dalam rapat kerja di Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di kompleks parlemen di Jakarta, hari Selasa (7/5) yang dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala kepolisian Republik Indonesia (Polri) Jenderal Tito Karnavian, dan Wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letnan Jenderal Teddy Lesmana.
Kapolri Tito Karnavian mengungkapkan potensi aksi yang keberatan dengan hasil penghitungan perolehan suara dan menuding telah terjadi kecurangan dalam proses yang sedang berlangsung. Tito membenarkan bahwa unjuk rasa memang dilindungi oleh hukum, yaitu Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998; tetapi ia mengingatkan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum tidak bersifat absolut.
Tito menyebut Pasal 6 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, di mana ada lima batasan dalam menyampaikan pendapat atau berekspresi di muka umum, yakni tidak boleh mengganggu ketertiban publik, harus menghargai hak asasi orang lain, harus mengindahkan etika dan moral, serta tidak boleh mengancam keamanan nasional, harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Jadi, menurut Tito, berdasarkan pasal 6 undang-undang itu, mobilisasi umum dalam bentuk unjuk rasa apapun juga kalau melanggar dapat dibubarkan. Jika dibubarkan massa melawan, maka ada hukum pidananya.
Tito memperingatkan people power pun harus mematuhi aturan hukum. Kalau people power itu bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah atau makar, maka bisa dikenai pidana sesuai Pasal 107 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Yaitu perbuatan yang bermaksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah adalah perbuatan makar dan ada ancaman pidananya. Dalam hal terjadinya peristiwa itu, maka penegak hukum, tentunya didukung dari unsur-unsur lain, termasuk TNI, akan melakukan langkah-langkah hukum," kata Tito.
Kapolri: People Power Sesungguhnya Sudah Terjadi pada 17 April
Tito menegaskan people power yang sebenarnya sudah terjadi pada 17 April lalu, ketika lebih dari 153 juta pemilih melaksanakan hak pilihnya. Dia meminta semua pihak untuk menghormati proses-proses yang ada sehingga keamanan dan kedamaian tetap terjaga.
Polri telah menggelar operasi khusus pengamanan Pemilihan Umum 2019, mulai 20 September 2018 hingga 21 Oktober 2019; sebagai upaya menjaga keamanan pelaksanaan pemilihan umum serentak itu. Hampir separuh kekuatan Polri dikerahkan di seluruh Indonesia, yakni 271.880 personil.
TNI Siap Antisipasi Munculnya Keberatan terhadap Hasil Penetapan Pemilu Dalam kesempatan yang sama Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto mengungkapkan untuk membantu Polri dalam pengamaman pelaksanaan Pemilihan Umum 2019, lanjutnya, TNI telah mengerahkan 181.436 prajurit; dengan rincian BKO kepada Polri (70.571 personel), cadangan yang tersebar di seluruh Komandan Daerah Militer (106.865 orang), dan cadangan terpusat TNI yang selalu ada di Jakarta (4 ribu orang).
Artinya, menurut Hadi, pengerahan kekuatan TNI tersebut melibatkan unsur darat, laut, dan udara. Kekuatan personil TNI Angkatan Darat yang dikerahkan sebanyak 163.694 orang, personil TNI Angkatan Laut mencapai 11.117 orang, sementara personil TNI Angkatan Udara (6.625 orang). Hadi mengatakan kekuatan TNI yang dikerahkan untuk pengamanan Pemilihan Umum 2019 adalah duapertiga dari kekuatan Polri yang diterjunkan. TNI juga mengerahkan helikopter, KRI, dan Hercules.
TNI memperkirakan akan muncul keberatan terhadap hasil penetapan hasil Pemilihan Umum 2019 oleh KPU pada 22 Mei mendatang.
"Hal ini terlihat dari indikasi perkembangan ketidakpuasan atas proses yang sedang berjalan. Beberapa pihak mengutarakan terjadi kecurangan, walaupun pihak penyelenggara pemilu menyatakan tidak terjadi. Akibat dari keberatan tersebut, dapat terjadi aksi untuk melaksanakan unjuk rasa atau bahkan penyerangan terhadap kantor-kantor penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu, dan sebagainya yang sudah kami prediksi dan kami siagakan dengan Bapak Kapolri," ujar Hadi.
TNI juga melihat peningkatan penyebaran berita hoaks di media sosial. Hoaks disebar karena ada aktor yang ingin memanfaatkan situasi yang berkembang. Polarisasi yang terbentuk selama masa kampanye menyebabkan identitas primordial - kesukuaan, agama, dan kesenjangan sosial – yang disalahgunakan untuk menimbulkan anarkisme massa.
Hadi menekankan eskalasi situasi politik dapat terjadi bila pihak-pihak yang tengah bersaing tidak dapat saling mengendalikan diri. Ditambah lagi adanya aktor-aktor yang ingin menumpang pada situasi tersebut.
Cegah Gangguan Keamanan, TNI Lakukan Deteksi Dini
Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan perkembangan situasi tersebut, menurut Hadi, TNI telah mengambil langkah-langkah antisipatif, antara lain melaksanakan pengumpulan data dan pemetaan terkait kerawanan potensi konflik maupun indikasi pengerahan massa di masing-masing wilayah.
Melalui pembinaan teritorial, Hadi telah menginstruksikan setiap satuan kewilayahan untuk membangun kedewasaan berpolitik masyarakat. Bintara Pembina Desa (Babinsa) dikerahkan untuk mengajak masyarakat untuk menyadari perbedaan pilihan dalam politik itu merupakan hal yang lumrah dan tidak harus saling memusuhi.
Hadi telah pula memerintahkan semua satuan TNI untuk melakukan deteksi dini, cegah dini, temu cepat dan lapor cepat setiap perkembangan situasi terhadap hal-hal yang menonjol yang terjadi di wilayah masing-masing. TNI bersama Polri juga berpatroli untuk menjaga ketertiban dan keaamanan di semua wilayah.
BIN Usulkan Hitung Suara Pemilih Secara Elektronik
Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Teddy Lhaksmana mengusulkan dalam pemilihan umum mendatang perlu dipertimbangkan penggunaan sistem rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik dengan tingkat pengamanan siber yang tinggi. Selain menghemat biaya, hal ini juga mengurangi beban pengisian beragam formulir yang terlalu banyak, dan hasil penghitungan suara lebih cepat disajikan.
Teddy menyebutkan BIN juga melihat ada indikasi kelompok-kelompok radikal yang ingin memanfaatkan momentum Pemilihan Umum 2019 untuk melaksanakan serangan teror.
"Potensi ancaman teror dari kelompok radikal yang ingin memanfaatkan memomentum Pemilu 2019 perlu terus diwaspadai dan sampai dengan saat ini BIn telah melakukan pemetaan indeks kerawanan sejumlah wilayah," tutur Teddy.
Namun Teddy tidak menyebutkan wilayah-wilayah mana saja rawan konflik sehabis pelaksanaan Pemilihan Umum dan penetapan hasil resminya pada 22 Mei.
BIN berharap semua pihak dapat mengikuti semua proses pemilu dengan baik hingga penetapan hasil oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 Mei mendatang. Jika ada ketidakpuasan, dapat disalurkan melalui ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku.
Delegitimasi Pemilu Dinilai Bahayakan Demokrasi
Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Atmajaya, Yogyakarta, Riawan Tjandra mengatakan delegitimasi pemilu tidak boleh terjadi karena akan sangat membahayakan demokrasi di Indonesia. Yang dirugikan dari upaya ini tambahnya adalah seluruh warga Indonesia.
Apabila ada ketidakpuasan pada hasil pemilu atau menemukan pelanggaran pada pesta demokrasi maka lanjut Riawan bisa mengajukan upaya pengajuan pemeriksaan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi dalam batas waktu 3x24 jam sejak pengumuman resmi oleh KPU.
“Yang jelas mereka (MK) akan menilai apakah perbedaan suara signifikan yang menyebabkan bukti-bukti adanya pelanggaran pemilu yang bersifat struktur, masif dan sistematis. Kalau itu terjadi nanti MK akan menyatakan bahwa pemilu di daerah atau wilayah tertentu harus diulang,” tambah Riawan.
Ketua DPD Oesman Sapta Oddang berharap setelah KPU merilis hasil resmi Pemilihan Umum 2019, semua masyarakat Indonesia kembali bersatu dan melupakan perbedaan dalam pilihan politik masing-masing. Ditambahkannya, pesta demokrasi memang harus meriah tapi tidak mesti berkelahi. (fw/em)