Sutradara Andrei Zvyagintsev, yang meggambarkan negara asalnya secara suram dalam film "Leviathan" yang mendapat nominasi Oscar, mengatakan Rabu (28/1) bahwa polarisasi yang terjadi di Rusia menunjukkan bahwa filmnya telah "menyentuh sesuatu yang sangat penting."
Film peraih Golden Globe Awards itu memaparkan beberapa hal tabu di negara itu, menggambarkan pergulatan seorang pria di bagian utara Rusia melawan walikota yang serakah dan korup dan memperlihatkan sisi buruk Gereja Ortodoks Rusia.
"Para penonton, negara terbagi dalam hal ini," ujar Zvyagintsev dalam sebuah konferensi pers untuk mempromosikan pemutaran film itu di Rusia, yang akan memberlakukan sensor ketat akibat undang-undang baru yang mengatur hal-hal yang dianggap tidak patut atau cabul.
"Harus dipahami bahwa publik memang akan terpolarisasi, namun sudut-sudut pandang ekstrem atas film menunjukkan film ini berhasil," ujarnya. "Film ini menyentuh sesuatu yang sangat penting."
Para penggemar di Rusia mengatakan film itu mencerminkan kehidupan di Rusia dalam kurun waktu 15 tahun sejak Presiden Vladimir Putin berkuasa, dengan para pejabat negara yang korup memperkaya diri dengan kekebalan hukum yang mengorbankan warga biasa.
Ironisnya, beberapa kritikan tajam datang dari Kementerian Budaya, yang turut membiayai film tersebut. Menteri Vladimir Medinsky menuduh Zvyagintsev menodai citra Rusia untuk mendapat pujian Barat.
Zvyagintsev mengatakan novel "Crime and Punishment" pada abad 19 juga menghadapi protes di jalanan ketika bagian-bagian novel itu pertama kali diterbitkan, meski ia tidak merasa sebanding dengan penulis Rusia kawakan Fyodor Dostoevsky.
"Leviathan", dengan gambar yang sebagian besar diambil di desa Teriberka di Laut Barents, diputar perdana pada pertengahan 2014, namun bioskop-bioskop di Rusia baru akan mulai memutarnya Februari.
Surat kabar Rusia Izvestia mengutip aktivis Ortodoks Rusia yang mendesak film tersebut, yang menunjukkan kolusi antara walikota dan uskup lokal, untuk tidak ditayangkan di Rusia karena menjelek-jelekkan Gereja Ortodoks Rusia. (Reuters)