Tautan-tautan Akses

Ikuti Trump, Kamboja Ancam Akan Usir Sejumlah Wartawan Kantor Berita


Polisi anti-huru-hara menghalangi jurnalis memasuki jalan utama yang diblokir di dekat kantor pusat Partai Penyelamatan Nasional (CNRP) di Phnom Penh, Kamboja. (Foto: Dok)
Polisi anti-huru-hara menghalangi jurnalis memasuki jalan utama yang diblokir di dekat kantor pusat Partai Penyelamatan Nasional (CNRP) di Phnom Penh, Kamboja. (Foto: Dok)

Pemerintah Kamboja mengancam akan mengusir sejumlah wartawan dari beberapa kantor berita, termasuk Voice of America, dengan menggunakan kecaman Presiden Donald Trump atas media Amerika sebagai alasannya.

Phay Siphan, juru bicara kabinet Kamboja hari Sabtu (25/2) mengancam akan “mengambil tindakan” atas kantor-kantor media, yang katanya mengancam kestabilan dan keamanan negara itu. Ancaman itu disampaikannya lewat pesan di Facebook.

Ini sepertinya pertama kali pemerintah asing menggunakan cara Trump memperlakukan pers dalam negeri sebagai justifikasi untuk menyensor pers, seperti yang sudah diramalkan oleh kelompok-kelompok pemantau kegiatan pers sebelum ini.

Trump menyebut laporan-laporan media yang tidak disukainya sebagai “fake news” atau “berita palsu” dan menyebut media tertentu sebagai “musuh rakyat Amerika.”

Minggu lalu, Gedung Putih melarang wartawan dari sejumlah media, termasuk New York Times dan CNN, hadir dalam pengarahan pers yang diadakan oleh juru bicaranya Sean Spicer. Tindakan Spicer itu memicu kecaman kecaman keras dari media, yang menyebutnya sebagai “penghinaan atas cita-cita demokratis.”

Dalam tulisan di Facebook, pejabat Kamboja itu agaknya meniru tindakan Gedung Putih untuk melarang ikutnya sejumlah wartawan, dengan mengatakan “ini akan mengirim pesan jelas bahwa laporan-laporan wartawan tertentu “tidak mencerminkan kenyataan.”

“Presiden Donald Trump berpendapat bahwa laporan-laporan media itu tidak mencerminkan kenyataan, yang seharusnya merupakan tanggung jawab wartawan profesional,” kata juru bicara kabinet Kamboja itu.

Ini berarti, tambahnya, bahwa “kebebasan menyatakan pendapat haruslah menghormati undang-undang dan kekuasaan negara.”

Juru bicara Phay Siphan secara khusus menyebut Voice of America dan Radio Free Asia, keduanya media siaran yang didanai pemerintah Amerika, dan juga sebuah stasiun radio lokal yang bernama The Voice of Democracy.

Walaupun Konstitusi Kamboja mengakui adanya pers yang bebas, kebanyakan media secara tidak langsung dikontrol oleh pemerintah dan dipantau dengan ketat. Pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen, yang telah berkuasa selama tiga dasawarsa, pernah mengecam VOA dan Radio Free Asia, yang dituduhnya menghasut timbulnya ketidakstabilan.

Siphan menuduh media siaran itu sebagai “agen-agen asing”, dan mengatakan, mereka harus meninjau kembali bahan-bahan siaran mereka sebelum pemerintah mengambil tindakan. Kata Siphan lagi, kepada harian Phnom Penh Post, “kantor-kantor media yang tidak mau mematuhi instruksi pemerintah itu akan diusir.

“Tutup kantornya, dan usir mereka,” katanya lagi.

Dalam sebuah pernyataan, Jing Zhang, pejabat kepala divisi Asia Timur dan Pasifik Voice of America menolak tuduhan bahwa VOA adalah “agen pemerintah asing.”

“VOA adalah organisasi media yang melaporkan berita secara obyektif, adil dan berimbang,” katanya. “Jutaan pendengar VOA dan penggemar VOA lewat Facebook di Kamboja bisa membuktikan integritas jurnalistik kita,” tambah Jing lagi.

Bulan Oktober tahun lalu, Komite Pelindung Wartawan, kelompok pemantau hak-hak wartawan yang independen, memperingatkan bahwa kebebasan pers dibawah kepemimpinan Trump akan ]enghadapi “ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap pers. [isa]

XS
SM
MD
LG