LONDON —
Sebuah jurnal medis Inggris terkemuka meminta produsen obat Roche untuk merilis semua data mengenai Tamiflu, dengan mengatakan bahwa tidak ada bukti bahwa obat tersebut dapat benar-benar menghentikan flu.
Obat tersebut telah ditimbun oleh puluhan pemerintah di seluruh dunia untuk mengantisipasi wabah flu global dan dipergunakan secara luas pada pandemi flu babi pada 2009.
Pada Senin (12/11), salah satu peneliti yang berhubungan dengan British Medical Journal (BMJ) mendesak pemerintah Eropa untuk menuntut Roche ke pengadilan.
“Saya sarankan kita memboikot produk-produk Roche sampai mereka mereka menerbitkan data mengenai Tamiflu yang hilang,” tulis Peter Gotzsche, kepala Pusat Nordic Cochrane di Kopenhagen.
Ia mengatakan pemerintah-pemerintah seharusnya mengambil tindakan hukum melawan Roche untuk mendapatkan kembali uangyang tidak seharusnya dipakai untuk menimbun Tamiflu.
Tahun lalu, Tamiflu masuk dalam daftar “obat-obatan penting” yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mendorong pemerintah dan lembaga donor untuk membeli obat tersebut.
Tamiflu digunakan untuk mengobati flu musiman dan virus-virus flu baru seperti flu burung dan flu babi. Juru bicara WHO Gregory Hartl mengatakan lembaga tersebut memiliki bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan obat itu untuk virus influenza tak biasa seperti flu burung.
"Kami memiliki bukti substantif bahwa obat tersebut dapat menghentikan atau menghambat progresi penyakit gawat seperti pneumonia,” ujarnya.
Di AS, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) merekomendasikan Tamiflu sebagai salah satu dari dua obat untuk mengobati flu biasa. Obat lain adalah Relenza buatan GlaxoSmithKline. CDC mengatakan obat anti virus tersebut dapat memperpendek durasi gejala dan mengurangi risiko komplikasi dan opname.
Pada 2009, BMJ dan para peneliti dari Pusat Nordic Cochrane meminta Roche untuk membuat semua data Tamiflu tersedia. Pada saat itu, para ilmuwan dari Cochrane diperintahkan oleh pemerintah Inggris untuk mengevaluasi obat flu. Mereka tidak menemukan bukti bahwa Tamiflu mengurangi jumlah komplikasi pada orang-orang yang terkena influenza.
"Meski ada janji terhadap publik untuk mengeluarkan (laporan internal perusahaan) untuk setiap uji coba (Tamiflu), Roche menghalanginya,” ujar editor BMJ Fiona Godlee pada editorial bulan lalu.
Dalam sebuah pernyataan, Roche mengatakan mereka telah mematuhi semua kewajiban hukum untuk menerbitkan data dan memberikan Gotzsche dan koleganya 3.200 halaman informasi untuk menjawab semua pertanyaan mereka.
“Roche telah membuat data studi klinis secara penuh tersedia untuk otoritas kesehatan nasional sesuai dengan beragam persyaratan, jadi mereka dapat melakukan analisis sendiri,” ujar perusahaan tersebut.
Roche mengatakan mereka tidak biasanya merilis data level pasien karena masalah hukum dan kerahasiaan. Mereka mengatakan tidak menyediakan data yang diminta pada para ilmuwan karena mereka menolak menandatangani perjanjian kerahasiaan.
Roche juga sedang diselidiki oleh Lembaga Obat Eropa karena tidak secara benar melaporkan dampak samping, termasuk kemungkinan kematian, untuk 19 obat termasuk Tamiflu yang digunakan pada 80.000 pasien di AS. (AP/Maria Cheng)
Obat tersebut telah ditimbun oleh puluhan pemerintah di seluruh dunia untuk mengantisipasi wabah flu global dan dipergunakan secara luas pada pandemi flu babi pada 2009.
Pada Senin (12/11), salah satu peneliti yang berhubungan dengan British Medical Journal (BMJ) mendesak pemerintah Eropa untuk menuntut Roche ke pengadilan.
“Saya sarankan kita memboikot produk-produk Roche sampai mereka mereka menerbitkan data mengenai Tamiflu yang hilang,” tulis Peter Gotzsche, kepala Pusat Nordic Cochrane di Kopenhagen.
Ia mengatakan pemerintah-pemerintah seharusnya mengambil tindakan hukum melawan Roche untuk mendapatkan kembali uangyang tidak seharusnya dipakai untuk menimbun Tamiflu.
Tahun lalu, Tamiflu masuk dalam daftar “obat-obatan penting” yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mendorong pemerintah dan lembaga donor untuk membeli obat tersebut.
Tamiflu digunakan untuk mengobati flu musiman dan virus-virus flu baru seperti flu burung dan flu babi. Juru bicara WHO Gregory Hartl mengatakan lembaga tersebut memiliki bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan obat itu untuk virus influenza tak biasa seperti flu burung.
"Kami memiliki bukti substantif bahwa obat tersebut dapat menghentikan atau menghambat progresi penyakit gawat seperti pneumonia,” ujarnya.
Di AS, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) merekomendasikan Tamiflu sebagai salah satu dari dua obat untuk mengobati flu biasa. Obat lain adalah Relenza buatan GlaxoSmithKline. CDC mengatakan obat anti virus tersebut dapat memperpendek durasi gejala dan mengurangi risiko komplikasi dan opname.
Pada 2009, BMJ dan para peneliti dari Pusat Nordic Cochrane meminta Roche untuk membuat semua data Tamiflu tersedia. Pada saat itu, para ilmuwan dari Cochrane diperintahkan oleh pemerintah Inggris untuk mengevaluasi obat flu. Mereka tidak menemukan bukti bahwa Tamiflu mengurangi jumlah komplikasi pada orang-orang yang terkena influenza.
"Meski ada janji terhadap publik untuk mengeluarkan (laporan internal perusahaan) untuk setiap uji coba (Tamiflu), Roche menghalanginya,” ujar editor BMJ Fiona Godlee pada editorial bulan lalu.
Dalam sebuah pernyataan, Roche mengatakan mereka telah mematuhi semua kewajiban hukum untuk menerbitkan data dan memberikan Gotzsche dan koleganya 3.200 halaman informasi untuk menjawab semua pertanyaan mereka.
“Roche telah membuat data studi klinis secara penuh tersedia untuk otoritas kesehatan nasional sesuai dengan beragam persyaratan, jadi mereka dapat melakukan analisis sendiri,” ujar perusahaan tersebut.
Roche mengatakan mereka tidak biasanya merilis data level pasien karena masalah hukum dan kerahasiaan. Mereka mengatakan tidak menyediakan data yang diminta pada para ilmuwan karena mereka menolak menandatangani perjanjian kerahasiaan.
Roche juga sedang diselidiki oleh Lembaga Obat Eropa karena tidak secara benar melaporkan dampak samping, termasuk kemungkinan kematian, untuk 19 obat termasuk Tamiflu yang digunakan pada 80.000 pasien di AS. (AP/Maria Cheng)