Presiden Joko Widodo meminta regulator dan para pelaku sektor industri jasa keuangan untuk tidak mengendurkan usahanya dalam menindak pelaku kejahatan di industri keuangan dan mengawasi praktik investasi meskipun dalam masa pandemi COVID-19. Hal ini dikarenakan, masih banyak warga yang terjerat investasi bodong dan pinjaman online ilegal.
Guna mewujudkan hal tersebut, kata Jokowi, sektor jasa keuangan dan sektor riil harus bisa saling mendukung sehingga roda perekonomian tanah air bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
“Persoalan-persoalan seperti ini juga menjadi tugas kita bersama, dan OJK (Otoritas Jasa Keuanga, red) sebagai motornya. Di masa sulit pengawasan tidak boleh kendur karena pengawasan yang lemah akan membuka celah, membuka peluang bagi munculnya berbagai modus kejahatan keuangan yang ujung-ujungnya akan merugikan masyarakat. Hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi,” ungkap Jokowi dalam acara Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan (PTIJK), Kamis (20/1).
Lebih jauh, Jokowi mengungkapkan meskipun masih dibayangi dengan varian Omicron yang berpotensi menimbulkan ledakan kasus COVID-19 dan dinamika global, tahun 2022 diyakini akan menjadi momentum pemulihan ekonomi secara berkelanjutan. Menurutnya, sejauh ini indikator perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga dengan baik, sehingga Indonesia memiliki fondasi yang kuat untuk melakukan akselerasi pemulihan ekonomi. Hal ini kata Jokowi bisa membangkitkan optimisme, keyakinan dan kepercayaan yang lebih besar lagi kepada masyarakat dan para pelaku usaha untuk melanjutkan aktivitas ekonomi dan aktivitas produktif lainnya.
“Karena itu, kebijakan dan instrumen pengawasan yang dikeluarkan OJK harus mampu mencegah meluasnya dampak pandemi COVID-19 khususnya terhadap perekonomian dan sektor keuangan serta dapat membantu sektor informal dan UMKM agar mampu bertahan dan kita harapkan bahkan bisa tumbuh lebih baik dengan melakukan berbagai inovasi dan terobosan,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkapkan seiring dengan berjalannya waktu, transformasi di sektor industri jasa keuangan bergerak begitu cepat. Namun, sayangnya, menurut Wimboh, hal ini tidak berbanding lurus dengan pemahaman masyarakat mengenai produk dan keuangan digital serta risiko yang melekat pada produk-produk tersebut, termasuk memahami produk mana yang legal dan ilegal.
Maka dari itu, OJK, bersama pihak terkait seperti Kepolisian RI, Kemenkominfo, Bank Indonesia, dan Kementerian Koperasi dan UMKM telah menandatangi Surat Keputusan Bersama (SKB) pada 20 Agustus 2021 lalu, untuk meningkatkan pengawasan dan perlindungan terhadap masyarakat di sektor jasa keuangan.
“Dengan demikian kami terus akan meningkatkan efektivitas upaya bersama, meningkatkan literasi, edukasi, penegakan hukum dalam rangka untuk perlindungan nasabah masyarakat yang terutama menjadi nasabah sektor keuangan. Kami juga mendukung langkah penegakan hukum tersebut oleh penegak hukum kepada pelaku peminjaman ilegal dan seluruh pihak terkait,” jelas Wimboh.
Stabilitas Sistem Keuangan
Dalam kesempatan ini, Wimboh pun memamerkan berbagai kinerja di sektor jasa keuangan yang cukup berkembang dengan baik meskipun masih dilanda ketidakpastian global dan pandemi COVID-19.
Pada akhir tahun 2021, kata Wimboh, pertumbuhan kredit perbankan secara tahunan (year on year/yoy) mencapai 5,2 persen dengan net perfoming loan (NPL) yang terkendali di level tiga persen.
Kinerja di sektor pasar modal juga cukup menggembirakan bahkan lebih baik dibandingkan sebelum pandemi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 14 Januari lalu mencapai 6.693, meningkat dibandingkan sebelum pandemi yang tercatat 5.361. Capaian ini, ungkap Wimboh, merupakan peringkat ketiga terbaik di kawasan Asia. Selain itu kapitalisasi pasar pada 30 Desember 2021 mencapai Rp8.252 triliun yang juga terbaik kedua di ASEAN setelah Thailand.
“Investor pasar modal meningkat cukup drastis yaitu menjadi 7,5 juta pada akhir tahun lalu, dan ini melonjak 93 persen dari tahun sebelumnya dimana 80 persen merupakan investor milenial. Ini berkah bagi kita, karena memang investor di pasar modal merupakan investasi yang sangat menarik terutama bagi milenial,” tuturnya.
Ke depan, pihaknya memproyeksikan kredit perbankan pada tahun ini bisa tumbuh sekitar 7,5 persen seiring dengan target pertumbuhan ekonomi nasional 5,2 persen. Selain itu, dana pihak ketiga (DPK) juga diperkirakan akan tumbuh sekitar 10 persen, serta pehimpunan dana masyarakat di pasar modal diyakini bisa tumbuh Rp125 triliun hingga Rp175 triliun.
“Utang pembiayaan dan perusahaan pembiayaan akan tumbuh sekitar 12 persen, aset asuransi jiwa serta perusahaan asuransi umum dan reasuransi akan tumbuh 4,66 persen dan 3,14 persen, sementara aset dana pensiunan akan mencapai 6,47 persen,” katanya. [gi/ab]