Tautan-tautan Akses

Jokowi Didesak Segera Keluarkan Perppu KPK


Presiden mengeluarkan wacana soal Perppu KPK usai bertemu dengan para tokoh. (Foto: presidenri.go.id)
Presiden mengeluarkan wacana soal Perppu KPK usai bertemu dengan para tokoh. (Foto: presidenri.go.id)

Usai bertemu dengan puluhan tokoh masyarakat pada Kamis, 26 September 2019 lalu, Presiden Jokowi Widodo bersuara tentang kemungkinan adanya terobosan terkait UU KPK. Aktivis mendesak, Presiden bersikap lebih cepat, tegas dan jelas terkait ini.

Terobosan yang diwacanakan Jokowi adalah terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seperti diketahui, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati pengesahan UU KPK yang baru.

Keputusan ini menimbulkan gejolak besar di berbagai wilayah tanah air. Langkah konstitusional yang bisa dilakukan Jokowi untuk mengatasi krisis ini, adalah menerbitkan sebuah peraturan pemerintah yang posisinya menggantikan UU KPK baru tersebut.

"Soal UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan-masukan juga kepada kita, utamanya memang masukan itu berupa penerbitan Perppu. Tentu saja ini akan kita segera menghitung, kita kalkulasi dan nanti setelah kita putusan akan kami sampaikan kepada senior dan guru-guru saya yang hadir sore hari ini,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan usai menerima para tokoh.

Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Oce Madril menyambut baik wacana itu. Perppu layak dipilih, karena dua jalur konstitusional lain, yaitu melalui parlemen sudah terlewati dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi akan memakan waktu.

Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Oce Madril. (Foto:VOA/ Nurhadi)
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Oce Madril. (Foto:VOA/ Nurhadi)

“Langkah membawa ke jalur hukum yang lain, apakah itu ke mahkamah konstitusi atau parlemen kembali, itu adalah pilihan yang tidak efektif sebenarnya untuk mengatasi situasi saat ini. Oleh karenanya, Pasal 22 konstitusi itu harus digunakan oleh Presiden, untuk menerbitkan Perppu karena memang keadaan sangat mendedak dan keadaan itu memaksa, untuk mengatasi juga protes yang saat ini sudah terjadi di seluruh Indonesia,” kata Oce.

Oce meyakini, keluarnya Perppu akan membuat Presiden bisa mengatasi sejumlah persoalan yang terjadi saat ni. Lebih khusus lagi, persoalan turunan seperti jatuhnya banyak korban dan penangkapan yang dilakukan aparat terhadap para aktivis.

Lalu apa isi dari Perppu itu nantinya?

Menurut Oce, isinya sangat sederhana, bahkan cukup dua pasal di dalamnya. Pasal 1 menyatakan mencabut Undang-Undang KPK yang baru hasil perubahan. Selanjutnya, pasal yang mengembalikan berlakunya Undang-Undang KPK lama. Oce meyakinkan, UU KPK lama, dengan sistem dan model penegakan hukum yang lama, sebenarnya lebih efektif membongkar perkara korupsi penting.

Presiden Jokowi bertemu dengan sejumlah tokoh, salah satunya membahas UU KPK. (Foto: presidenri.go.id)
Presiden Jokowi bertemu dengan sejumlah tokoh, salah satunya membahas UU KPK. (Foto: presidenri.go.id)

Langkah lain yang bisa diambil Presiden adalah mempertimbangkan untuk menyeleksi ulang calon pimpinan KPK yang saat ini sudah disahkan parlemen. Alasannya, ada beberapa yang bermasalah dalam hal integritas dan rekam jejak.

“Apakah langkah ini boleh menurut hukum? Ini adalah langkah konstitusional. Langkah darurat yang diambil presiden dengan cara mengeluarkan Perppu, yang kekuatan hukumnya setara dengan undang-undang,” tambah Oce.

DPR pun tidak diabaikan dalam langkah ini. Secara obyektif, DPR baru masih bisa berperan dalam masa sidang berikutnya. DPR bisa memberikan catatan terhadap Perppu yang sudah dikeluarkan Presiden. Dengan demikian, Perpp tidak dapat dinilai sebagai kemauan subyektif presiden

Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI), Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah menyatakan, Perppu adalah pilihan paling mungkin bagi Presiden. Tidak hanya itu, Perppu UU KPK yang dibuat untuk menyelamatkan lembaga tersebut, adalah bukti Jokowi menepati salah satu janji kampanyenya.

“Kita sebenarnya dalam posisi sedang menagih Presiden. Bahwa Presiden dalam berbagai kesempatan kampanyenya, berjanji untuk memperkuat KPK. Dalam keadaan sekarang, saya pikir Presiden harus menjawab itu dengan segera menerbitkan Perppu,” kata Hamzah.

Namun, mendengar pilihan kata yang dipakai Jokowi ketika mengungkapkan rencananya menerbitkan Perppu, Hamzah menilai Presiden sebenarnya dalam keadaan ragu. Karena itulah, setiap gerakan yang dilakukan untuk mendesak turunnya Perppu itu, harus terus dikawal.

Penerbitan Perppu ini dinilai Hamzah juga akan menghindarkan Presiden dari isu penumpang gelap yang menyelimuti proses keluarnya UU KPK. Isu semacam itu selama ini telah bergulir, dan sebenarnya dalam posisi cukup merugikan Jokowi.

Aktivis memandang Perppu KPK adalah jalan keluar dari situasi krisis saat ini. (Foto:VOA/ Nurhadi)
Aktivis memandang Perppu KPK adalah jalan keluar dari situasi krisis saat ini. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Terkait UU KPK yang baru, peneliti dari Pukat UGM, Agung Nugroho memaparkan 21 catatan penting lembaga tersebut sebagai hasil kajian mendalam. Ke – 21 catatan itu adalah ancaman bagi upaya pemberantasan korupsi ke depan, jika Undang-Undang KPK yang telah disahkan DPR, segera berlaku.

Catatan pertama terkait dengan status KPK sebagai lembaga independen. Menurut Agung, Pasal 3 UU KPK yang baru memiliki kontradiksi, karena posisi KPK yang ditempatkan pada ranah lembaga eksekutif. Status independen itu hilang seiring masuknya KPK sebagai bagian dari pemerintah.

“Artinya, ketika dia di bawah eksekutif, dia tidak bisa lagi bersifat independen ketika terkait urusan-urusan terkait lembaga eksekutif itu sendiri,” kata Agung.

Catatan lain adalah keberadaan Dewan Pengawas. Dijelaskan Agung, Dewan Pengawas memiliki amanah sesuai UU KPK baru, salah satunya harus membentuk kode etik bagi Pimpinan dan pegawai KPK. Pertanyaannya, kata Agung, siapa kemudian yang membuat kode etik bagi Dewan Pengawas itu sendiri.

Selama ini, pimpinan KPK terikat pada Pasal 36 UU KPK, yang mengatur pimpinan KPK tidak boleh bertemu dengan orang yang sedang ditangani perkaranya oleh KPK. Dalam UU KPK baru, tidak ditemukan aturan mengenai siapa yang akan mengawasi Dewan Pengawas itu sendiri. Menjadi sebuah kerancuan, tambahnya, ketika lembaga negara independen memiliki Dewan Pengawas yang mencampuri urusan pro justisia.

Jokowi Didesak Segera Keluarkan Perppu KPK
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:44 0:00

“Apakah dia diperbolehkan untuk bertemu dengan orang yang berperkara? Padahal dia memberikan izin terkait penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan. Kalau tidak diatur, dia bisa saja bertemu dengan orang-orang yang berperkara atau yang sedang ditangani. Ini sangat berbahaya,” tambah Agung.

Catatan lain terkait penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Menurut Agung, KPK diberi waktu dua tahun untuk menyidik perkara dan kemudian harus memberikan SP3 jika belum selesai. Padahal dalam KUHP yang saat ini masih berlaku, tidak ada batasan bagi penegak hukum seperti polisi untuk melakukan langkah yang sama.

Dalam pasal 109 ayat 2 KUHAP, syarat untuk menerbitkan SP3 ada tiga, yaitu tidak cukup alat bukti, bukan peristiwa pidana dan ada ada alasan-alasan hukum. Tidak ada batas waktu yang diatur dalam hal ini. Sementara KPK yang membongkar kasus-kasus korupsi besar, justru diberi batasan hanya dua tahun. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG