Momen bersejarah penting dilalui bangsa Indonesia minggu ini, yaitu peringatan 50 tahun tragedi 1965. Saat itu terjadi pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis setelah terjadinya Gerakan 30 September, pada masa transisi menuju Orde Baru.
Dalam wawancara khusus dengan VOA setelah pidatonya di hadapan sidang majelis umum PBB di New York, wakil presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa yang terjadi dalam peristiwa 1965 tersebut adalah “konflik antar masyarakat dan itu bukan pemerintah yang melakukan”.
Wapres justru mempertanyakan, “mau minta maaf kepada siapa?” dan menyatakan yang diperlukan adalah “rekonsiliasi antar masyarakat dan itu sudah dilakukan”.
Ketika VOA menanyakan apakah diperlukan adanya pelurusan sejarah terkait pemahaman peristiwa ini, wapres menyatakan “sejarah selalu subyektif terhadap siapa yang membuat dan menulis sejarah itu”. Menurutnya, “jika ada bukti-bukti yang baru, bisa saja diluruskan”. Ia menambahkan bahwa sejarah itu sesuai zamannya dan jika pada masa pemerintahan Orde Baru yang, “lebih otoriter tentu juga membuat sejarah sesuai dengan apa yang diyakini pada waktu itu”.
1 Oktober ini wakil rakyat Amerika Serikat Senator Tom Udall mengajukan resolusi yang mendesak Indonesia melakukan rekonsiliasi guna, “menangani kejahatan yang terjadi dan agar Amerika Serikat merilis dokumen rahasia” terkait peristiwa ini.
Menurut pernyataan kantor senator ini, “Pada 1 Oktober 1965, enam jenderal Angkatan Darat Indonesia dibunuh oleh militer Indonesia namun kematian mereka dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia. Diduga bahwa pemerintahan Indonesia di bawah Soeharto menggunakan peristiwa ini untuk membenarkan pembunuhan massal terhadap siapapun yang dituduh terkait dengan Partai Komunis Indonesia dan kudeta yang dituduhkan ini.”
Menanggapi upaya wakil rakyat Amerika ini wapres menyatakan, “silakan saja tapi saya yakin Amerika tidak punya banyak peran. Indonesia telah menyelesaikan masalahnya dengan komunis tanpa peran Amerika”.
Berbagai wacana akhir-akhir ini muncul mengenai Tragedi 1965. Termasuk dua film arahan sutradara Amerika Serikat Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing” tahun 2012 dan “The Look of Silence” tahun 2014, yang memenangkan sejumlah penghargaan internasional dan membuka kembali perdebatan mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam babak kelam sejarah Indonesia tersebut. [pw]