Tautan-tautan Akses

Jika Demokrat Bisa, Haruskah Mereka Perbanyak Hakim Mahkamah Agung AS? 


Gedung Mahakamah Agung AS di Washington DC, 15 Juni 2020. (Foto: Reuters)
Gedung Mahakamah Agung AS di Washington DC, 15 Juni 2020. (Foto: Reuters)

Ketika Partai Republik bergegas mengonfirmasi Amy Coney Barrett, pilihan Presiden Donald Trump untuk menggantikan almarhum Hakim Ruth Bader Ginsburg di Mahkamah Agung AS sebelum Hari Pemilu, beberapa pendukung liberal Partai Demokrat melontarkan gagasan untuk menambah kursi ke pengadilan, dari sekarang yang berjumlah sembilan kursi.

Jumlah hakim telah berubah dari waktu ke waktu, dari enam sampai 10, tetapi jumlahnya tetap stabil sebanyak sembilan sejak 1869. Pada 1930-an, Presiden Franklin D. Roosevelt mencoba menambah hakim MA untuk mempertahankan undang-undang Kesepakatan Baru, yang terus digempur oleh MA. Ia gagal.

Jika Partai Demokrat menduduki Gedung Putih dan Senat, sementara tetap mempertahankan kendali mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat, tidak ada halangan konstitusional untuk menindaklanjuti gagasan tersebut.

“Tidak ada dalam Konstitusi yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung harus memiliki satu atau dua atau lima atau 10 anggota,” kata Calvin Schermerhorn, profesor sejarah di Arizona State University.

"Tidak ada ketentuan berapa banyak anggota di Mahkamah Agung. Hanya dikatakan bahwa akan ada ketua hakim, dan Kongres akan memiliki kekuasaan untuk membentuk pengadilan itu dan mengonfigurasikannya untuk kepentingan keadilan," imbuhnya.

Partai Demokrat harus mengubah aturan filibuster di Senat untuk menurunkan ambang batas pengesahan undang-undang dari 60 suara menjadi mayoritas sederhana dari lembaga legislatif beranggotakan 100 orang itu untuk mengubah jumlah hakim MA.

Calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden menolak mengatakan apakah ia akan mendukung penambahan hakim Mahkamah Agung jika ia memenangkan pemilu dan Partai Demokrat mengambil kembali kendali Senat, tetapi ia berjanji untuk mengungkapkan sikapnya sebelum Hari Pemilu.

Nicole Huberfeld, profesor hukum di Universitas Boston mengatakan memperluas MA karena alasan politik bisa merusak integritas Mahkamah Agung.

“Orang sudah khawatir tentang apakah Mahkamah Agung adalah aktor politik, bukan apolitis. Menurut saya, menambahkan hakim sehingga seorang presiden bisa mengangkat sejumlah hakim bisa mempengaruhi integritas kelembagaan, atau setidaknya persepsi integritas kelembagaan," kata Huberfeld.

“Kewenangan pengadilan sebagian besar berasal dari menghormati keputusan para hakim, dan pengadilan itu sendiri sebenarnya tidak memiliki cara untuk memastikan bahwa keputusannya dilaksanakan,” tambah Huberfeld.

"Jika orang berhenti menganggapnya sebagai hukum negara, maka pengadilan secara kelembagaan memiliki masalah integritas," ujarnya.

Menurut survei publik, sebagian besar orang Amerika percaya Mahkamah Agung AS bertindak demi kepentingan terbaik bangsa, tetapi semakin banyak orang khawatir hakim semakin terlibat dengan politik.

Meskipun politisasi Mahkamah Agung saat ini mengkhawatirkan bagi sebagian orang, skenario tersebut mungkin sudah tidak asing lagi bagi para pendiri negara, karena MA dipandang sebagai perpanjangan dari politik partai di abad ke-19.

“Generasi pertama pemimpin Amerika, yang disebut pendiri bangsa, menggunakan pengadilan sebagai badan legislatif. Jadi, peradilan federal, khususnya, seharusnya tunduk pada keinginan perwakilan yang dipilih secara demokratis,” kata Schermerhorn.

Upaya Partai Republik untuk mempercepat konfirmasi Barrett sangat menyakitkan bagi Partai Demokrat yang masih marah karena Partai Republik pada 2016 berhasil menghadang konfirmasi Merrick Garland, pilihan Presiden Barack Obama untuk menggantikan Hakim Antonin Scalia, di awal tahun pemilu.

Sekarang, Partai Republik bergegas untuk mengonfirmasi Barrett hanya beberapa hari sebelum pelaksanaan pemilihan presiden yang akan menciptakan mayoritas konservatif yang solid 6-3 di Mahkamah Agung. [my/pp]

XS
SM
MD
LG