Para politisi Jerman pada Rabu (12/12) mengesahkan undang-undang untuk melindungi hak untuk menyunat anak laki-laki, dalam rangka mendukung kelompok Muslim dan Yahudi yang geram karena sebuah pengadilan melarang praktik itu pada Mei.
Larangan tersebut, dengan alasan bahwa sunat “membahayakan tubuh”, memancing debat emosional mengenai perlakuan terhadap kelompok Yahudi dan minoritas agama lainnya, sebuah topik yang sensitif di negara yang masih dihantui masa lalu terkait Nazi.
Protes itu kemudian mendorong pemerintahan sayap kanan dan partai oposisi untuk membuat undang-undang yang menyatakan bahwa praktik tersebut legal, dan otomatis mencabut keputusan pengadilan di kota Cologne, bagian barat Jerman.
Peraturan baru tersebut menyatakan bahwa operasi sunat diperbolehkan sepanjang orangtua anak mengetahui risiko-risikonya.
Kelompok Yahudi menyambut baik langkah tersebut, sementara Konferensi Uskup Katolik berharap undang-undang tersebut akan menjaga kebebasan beragama.
Keputusan pengadilan pada Mei untuk terkait kasus anak laki-laki Muslim yang mengalami pendarahan setelah prosedur sunat dan larangan tersebut hanya berlaku di Cologne.
Namun beberapa dokter di daerah lain mulai menolak melakukan sunat, dengan mengatakan bahwa tidak ada kejelasan apakah mereka akan dihukum.
Di bawah undang-undang baru tersebut, dokter atau ahli yang terlatih harus melakukan operasi dan rasa sakit yang dialami anak harus diminimalisir sebisa mungkin, yang berarti penggunaan anestesia. Prosedur tidak dapat dilakukan jika ada keraguan mengenai kesehatan anak.
Menteri Kehakiman Sabine Leutheusser-Schnarrenberger mengatakan tidak ada satu pun negara di dunia ini yang melarang sunat anak laki-laki.
“Di negara yang modern dan sekuler seperti ini, bukan tugas negara untuk mencampuri pengurusan anak,” ujarnya.
Kelompok aktivisme kesejahteraan anak Deutsche Kinderhilfe menolak argumen tersebut dengan mengatakan pemerintah “melegalisasi ritual sunat melawan saran aktivis hak anak dan kalangan medis.” (Reuters/Madeline Chambers)
Larangan tersebut, dengan alasan bahwa sunat “membahayakan tubuh”, memancing debat emosional mengenai perlakuan terhadap kelompok Yahudi dan minoritas agama lainnya, sebuah topik yang sensitif di negara yang masih dihantui masa lalu terkait Nazi.
Protes itu kemudian mendorong pemerintahan sayap kanan dan partai oposisi untuk membuat undang-undang yang menyatakan bahwa praktik tersebut legal, dan otomatis mencabut keputusan pengadilan di kota Cologne, bagian barat Jerman.
Peraturan baru tersebut menyatakan bahwa operasi sunat diperbolehkan sepanjang orangtua anak mengetahui risiko-risikonya.
Kelompok Yahudi menyambut baik langkah tersebut, sementara Konferensi Uskup Katolik berharap undang-undang tersebut akan menjaga kebebasan beragama.
Keputusan pengadilan pada Mei untuk terkait kasus anak laki-laki Muslim yang mengalami pendarahan setelah prosedur sunat dan larangan tersebut hanya berlaku di Cologne.
Namun beberapa dokter di daerah lain mulai menolak melakukan sunat, dengan mengatakan bahwa tidak ada kejelasan apakah mereka akan dihukum.
Di bawah undang-undang baru tersebut, dokter atau ahli yang terlatih harus melakukan operasi dan rasa sakit yang dialami anak harus diminimalisir sebisa mungkin, yang berarti penggunaan anestesia. Prosedur tidak dapat dilakukan jika ada keraguan mengenai kesehatan anak.
Menteri Kehakiman Sabine Leutheusser-Schnarrenberger mengatakan tidak ada satu pun negara di dunia ini yang melarang sunat anak laki-laki.
“Di negara yang modern dan sekuler seperti ini, bukan tugas negara untuk mencampuri pengurusan anak,” ujarnya.
Kelompok aktivisme kesejahteraan anak Deutsche Kinderhilfe menolak argumen tersebut dengan mengatakan pemerintah “melegalisasi ritual sunat melawan saran aktivis hak anak dan kalangan medis.” (Reuters/Madeline Chambers)