Pada malam 27 September, keluarga Reshi di Samboora, desa yang terletak di Kashmir selatan yang dikuasai oleh India, beranjak ke tempat tidur tanpa menyadari adanya baku tembak antara pasukan India dan pemberontak separatis di ujung lain desa mereka.
Ketika mereka bangun keesokan paginya, putra mereka, seorang militan, telah tewas. “Orang-orang memberi tahu kami bahwa putra saya telah menjadi martir,” kenang Azzi Begum sementara dia duduk di ruang tamu rumahnya.
Pasukan keamanan di wilayah tersebut terkadang membawa anggota keluarga ke lokasi guna meyakinkan militan agar menyerah daripada bertempur sampai mati.
Beberapa jam kemudian, seorang anggota keluarga didekati oleh polisi untuk mengidentifikasi mayat itu.
Aijaz Ahmad Reshi telah meninggalkan rumahnya pada 2016, ketika pasukan keamanan terbunuh oleh komandan militan, Burhan Wani, yang menyebabkan kerusuhan dan protes massal di Kashmir yang dikuasai oleh India.
Dia bergabung dengan kelompok militan yang berbasis di Pakistan, Lashkar-e-Taiba (LeT), untuk melawan kekuasaan India atas Kashmir.
Pemberontakan separatis telah membara di wilayah tersebut selama beberapa dekade, sering berkobar ketika muncul insiden yang memicu unjuk rasa dan protes massal.
India menyalahkan Pakistan karena mengobarkan kerusuhan dengan melatih dan mengirim militan dari seberang perbatasan untuk melakukan serangan terhadap pasukan keamanan India.
Setelah jenazah Reshi diidentifikasi, petugas memberitahu keluarga bahwa mereka tidak dapat membawanya pulang, dan sebaliknya akan dibawa ke Kashmir utara untuk dimakamkan. Pemakaman dibatasi hanya untuk anggota keluarga.
Pemakaman militan di Kashmir telah menjadi perhatian otoritas India selama bertahun-tahun. Upacara pemakaman secara rutin berubah menjadi demonstrasi politik anti-India yang dihadiri oleh puluhan ribu orang. [lt/ab]