Suatu hari pada September 2024, Alex J. Schulze, CEO dan salah satu pendiri perusahaan komersial 4Ocean, memamerkan sesuatu yang membuat miris para aktivis lingkungan di media sosial, termasuk Tik Tok, Instagram dan Facebook.
Usai proyek clean-up atau bersih-bersih di Pantai Pulukan Bali, ia berhasil menemukan setumpukan jaring ikan yang sudah tidak terpakai yang beratnya total mencapai 46 kilogram. Semuanya terbuat dari nilon dan bahan plastik lainnya, dan merupakan bagian dari sampah seberat 645 kilogram yang ditemukan di pantai itu pada 10 September.
Berat total sampah jaring ini memang terkesan kecil. Namun, mengingat betapa ringannya bahan yang digunakan untuk membuatnya, jaring itu sewaktu dibentangkan bisa menutup wilayah hingga ratusan meter persegi, dan bisa memerangkap banyak hewan laut.
Jaring hantu sangat memprihatinkan, kata Schulze, merujuk pada jaring ikan yang sudah tidak terpakai dan terlantar itu. Setiap tahunnya, menurutnya, secara global lebih dari 50.000 ton peralatan menangkap ikan terbuat dari plastik -- termasuk jaring, apung-apung, dan pancing -- dibuang, tertinggal, atau hilang di laut. Sampah-sampah plastik itu saling terjerat satu sama lain dan mengapung di lautan.
“Mengapa disebut jaring hantu? Karena sampah mengapung ini memerangkap ikan-ikan dan membuat mereka sekarat atau mati. Ikan-ikan yang membusuk itu mengundang kehadiran hewan-hewan laut lain, yang ingin memangsanya. Ini menjadi siklus abadi. Dengan berjalannya waktu semakin banyak hewan laut yang terperangkap dan mati,” ujar Schulze.
Perusahaan "4Ocean", yang memiliki misi menyingkirkan plastik dan sampah dari lautan dan pantai, tidak bisa tinggal diam, kata Schulze. Sejak tahun 2018, perusahaan yang menekankan perolehan keuntungan dengan mendaurulang sampah plastik ini membuka kantor cabang internasional pertamanya di Bali dan membersihkan jaring hantu termasuk agenda rutinnya.
Perusahaan ini memilih Bali karena dianggap sebagai ground zero polusi plastik di laut, dengan ribuan kilogram plastik terbawa ke laut dan perairan dekat pantai-pantainya setiap hari.
Keprihatinan juga dirasakan Mohamad Abdi Suhufan, koordinator nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia. Fakta mengkhawatirkan ini, menurutnya, tergambar jelas di pantai-pantai dan perairan sepanjang jalur Pantai Utara (Pantura) -- kawasan yang secara demografi terpadat di banding kawasan-kawasan lain di Indonesia dan dengan konsentrasi nelayan kecil terbanyak. Di sana, katanya, para nelayan umumnya mengabaikan ancaman jaring hantu.
“Karena mereka memiliki tingkat kesadaran yang masih sangat rendah untuk bisa berpikir panjang bahwa kalau sedikit demi sedikit jaring itu dibuang ke laut, itu bisa menimbulkan permasalahan, seperti gangguan pertumbuhan terumbu karang, pencemaran dan gangguan ekosistem laut secara keseluruhan,” papar pria yang biasa dipanggi Abdi tersebut.
Abdi mengungkapkan, meski ada banyak upaya untuk membersihkan jaring hantu, hingga saat ini belum ada prakiraan yang bisa dipercaya mengenai berapa banyak jaring nelayan yang dibuang atau hilang di lautan Indonesia. Namun, ia berani mengatakan, besaran angkanya pasti mengkhawatirkan.
Global Ghost Gear Initiative (GGGI) -- aliansi global lintas sektor yang bertujuan untuk mengatasi masalah peralatan penangkapan ikan yang hilang, terbengkalai, atau dibuang -- pada 2023 memperkirakan bahwa sekitar 2% dari seluruh peralatan tangkap ikan dinyatakan hilang setiap tahunnya secara global. Angka 2% itu mencakup jaring yang bila dibentangkan secara keseluruhan menutup area seluas lebih dari 78.000 kilometer persegi.
Mokhamad Dahri Iskandar, pakar perikanan dan ilmu kelautan dari IPB University, mengungkapkan, jaring yang hilang, terbengkalai, atau sengaja dibuang tidak berhenti berfungsi. Jaring-jaring ini, katanya, terus menjebak segala sesuatu yang melewatinya, sehingga menimbulkan masalah besar bagi kesehatan lautan dan kehidupan laut – sebuah fenomena yang diistilahkan para ahli sebagai ghost fishing.
“Ini tidak hanya berbahaya bagi lingkungan tapi juga bagi sumberdaya perikanan itu sendiri. Ini bisa mengakibatkan menipisnya sumberdaya perikanan. Alat itu terus menangkap ikan, padahal sudah berada di luar kontrol pemiliknya,” jelas pria yang akrab dipanggil Dahri itu.
Dahri mengungkapkan jaring hantu tidak hanya memerangkap ikan, tapi juga penyu, lumba-lumba, hiu, anjing laut, dan bahkan burung. Hewan-hewan tersebut sering tanpa sadar masuk ke dalam jaring, yang seringkali tidak dapat terdeteksi indra penglihatan dan indra pendengaran. Walhasil, mereka terjebak atau tidak dapat bergerak bebas, dan kemudian cedera atau bahkan kehilangan nyawa.
Jaring hantu juga merusak terumbu karang, membuat karang mudah terkena penyakit, dan bahkan menghalangi karang dari sinar matahari yang dibutuhkan.
Yang lebih memprihatinkan, karena terbuat dari bahan sintetis, jaring-jaring itu bisa bertahan hingga berabad-abad, dan kadang terpecah menjadi potongan-potongan kecil. Hewan-hewan laut sering salah mengira mikroplastik ini sebagai makanan dan mengonsumsinya sehingga membahayakan organ dalam mereka dan membuat mereka terpapar bahan kimia beracun.
Keprihatinan terhadap ghost fishing, kata Dahri, mendorong banyak pihak, termasuk IPB University, mengembangkan jaring ikan ramah lingkungan. Jaring yang dimaksud mudah terdekomposisi, melakukan penangkapan selektif dan aman digunakan pemakainya.
IPB sendiri mengembangkannya dari berbagai serat tumbuhan, seperti nenas, pandan laut, kelapa, rami, dan agel. Serabut tersebut dibuat menjadi benang atau tali dengan bantuan biopolimer kitosan, untuk kemudian dirajut menjadi jaring.
Jaring dari serabut tanaman, kata Dahri, “mudah terurai, sehingga mencegah apa yang disebut ghost fishing dan mencegah terbentuknya sampah lautan.”
Dahri, yang merupakan salah satu anggota tim inovasi teknologi perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University, mengungkapkan, apa yang dilakukan timnya tidak hanya itu, tapi juga memastikan bahwa ukuran mata jaringnya ramah lingkungan. Ukaran mata jaring yang seperti itu, menurutnya, harus memungkinkan ikan yang belum layak tangkap – atau belum matang gonad -- bisa lolos, sehingga mempertahankan keberlanjutan sumber daya itu.
Bagaimana reaksi nelayan? Saat ini, menurut Dahri, masih banyak nelayan yang masih ragu menggunakannya, mengingat jaring ramah lingkungan memiliki tingkat keawetan yang jauh lebih rendah dari jaring sintetis. “Karena jelas mereka menginginkan alat tangkap yang lifetime-nya panjang. Tapi mereka lupa bahwa yang lifetime-nya panjang, yang sulit terdegradasi, yang sulit terurai, menawarkan masalah baru,” katanya.
Djamani Rianjuanda, pakar perikanan dan ilmu kelautan dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syah Kuala, Aceh, juga mengakui bahwa jaring hantu masih menjadi masalah besar di perairan Indonesia.
Ia mengatakan, para nelayan di perairan Pidie, Aceh, misalnya, masih sulit meninggalkan pukat pantai tradisional yang terbuat dari bahan sintetis. Pukat pantai adalah jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat di sebelah bawahnya. Yang memprihatinkan, nelayan tak jarang membuang begitu saja pukat yang sudah rusak ke laut sehingga mengancam kehidupan laut.
Pukat pantai sendiri, kata pria yang akrab dipanggil Rian ini, tidak memenuhi kriteria CCRF (code of conduct for responsible fisheries) -- standar perilaku internasional untuk memastikan konservasi, pengelolaan, dan pengembangan sumber daya hayati perairan laut dan air tawar yang efektif. Alat tangkap ini sebetulnya sudah dilarang pemerintah Indonesia sejak 2015, karena menangkap segala ikan dan biota yang ada di kawasan pantai sehingga berpotensi merusak habitat dan menyebabkan kepunahan beberapa spesies ikan.
Meski demikian ia mengatakan situasinya telah membaik setelah pemerintah dan lembaga-lembaga advokasi ingkungan, seperti World Wildlife Fund (WWF), Wildlife Conservation Society, Flora and Fauna International giat melakukan sosialisasi alat-alat tangkap ikan ramah lingkungan.
“Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan saat ini cukup bagus dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Para nelayan sudah mulai melek hukum sehingga mereka mengantisipasinya supaya tidak ditangkap pihak berwenang,” ujarnya.
Abdi dari DFW mengatakan, terkait jaring hantu lembaganya menggelar tiga strategi untuk mengatasinya. Pertama, melakukan pendekatan ke pemerintah-pemerintah provinsi untuk bersama pemerintah pusat aktif memberikan edukasi mengenai bahaya jaring hantu ke sentra-sentra nelayan di wilayah mereka. Kedua, secara reguler, menyampaikan pengumuman lewat pengeras suara di pelabuhan-pelabuhan yang dianggap rawan agar para nelayan tidak membuang jaring atau sampah lain ke laut. Ketiga, membagi-bagikan secara gratis ke nelayan yang akan melaut karung yang bisa digunakan sebagai kantung sampah sementara.
Bagaimana dengan perangkat hukum yang bisa menimbulkan efek jera pada nelayan? “Sejauh ini belum ada perangkat hukum yang berlaku secara nasional yang bisa menindak mereka yang membuang jaring atau alat menangkap ikan yang sudah rusak atau tidak terpakai ke laut,” jelas Abdi. [ab/ka]
Forum