Tautan-tautan Akses

Janji Trump untuk Kuasai Greenland Dominasi Isu Pemilihan Parlemen


Seorang warga Greenland mengenakan topi MAGA saat memberikan suaranya dalam pemilihan parlemen Greenland di sebuah TPS di Nuuk, pada 11 Maret 2025. (Foto: Reuters/Marko Djurica)
Seorang warga Greenland mengenakan topi MAGA saat memberikan suaranya dalam pemilihan parlemen Greenland di sebuah TPS di Nuuk, pada 11 Maret 2025. (Foto: Reuters/Marko Djurica)

Dalam debat terakhir menjelang pemilihan di stasiun penyiaran Greenland, KNR, pada Senin (10/3) malam, para pemimpin dari lima partai yang saat ini berada di parlemen dengan suara bulat mengatakan bahwa mereka tidak memercayai Trump.

Tempat-tempat pemungutan suara untuk memilih anggota parlemen Greenland telah ditutup pada Selasa (11/3). Pemilihan itu menjadi sorotan internasional karena janji Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menguasai pulau yang kaya mineral itu telah memicu perdebatan tentang status kemerdekaannya.

Pemungutan suara telah diperpanjang setengah jam melewati batas waktu pukul 22.00 GMT di tengah tingginya jumlah pemilih di beberapa lokasi dari 72 tempat pemungutan suara di seluruh pulau Arktik itu, tempat di mana 40.500 orang memenuhi syarat untuk memberikan suara mereka.

Tidak ada jajak pendapat di pintu keluar TPS-TPS, dan penghitungan akhir suara bisa memakan waktu antara tiga dan lima jam, kata otoritas pemilihan Greenland.

Sejak menjabat pada bulan Januari, Trump telah berjanji untuk menjadikan Greenland — wilayah semi-otonom Denmark — bagian dari Amerika Serikat, dengan mengatakan bahwa itu penting bagi kepentingan keamanan AS.

Pulau yang luas itu, dengan populasi 57.000 jiwa, telah terperangkap dalam persaingan geopolitik untuk menguasi wilayah Arktik itu, di mana lapisan es-nya yang mencair membuat sumber dayanya lebih mudah diakses dan membuka rute-rute pelayaran baru. Baik Rusia maupun China telah mengintensifkan aktivitas militer mereka di wilayah tersebut.

Greenland adalah bekas koloni Denmark dan menjadi wilayah dengan otonomi sendiri sejak 1953. Greenland memperoleh otonomi pada tahun 1979 ketika parlemen pertamanya dibentuk, tetapi Kopenhagen masih mengendalikan urusan luar negeri, pertahanan, dan kebijakan moneter serta menyediakan sekitar $1 miliar per tahun untuk perekonomiannya.

Pada tahun 2009, Denmark memenangkan hak untuk mendeklarasikan kemerdekaan penuh Greenland melalui referendum, tapi belum melakukannya karena khawatir standar hidup di sana akan turun tanpa dukungan ekonomi Denmark.

"Saya sangat yakin bahwa kita akan segera mulai menjalani kehidupan yang lebih berdasarkan pada siapa kita, berdasarkan pada budaya kita, berdasarkan pada bahasa kita sendiri, dan mulai membuat peraturan berdasarkan pada kita, bukan berdasarkan pada Denmark," kata Qupanuk Olsen, kandidat dari partai prokemerdekaan utama Naleraq.

Inge Olsvig Brandt, seorang kandidat dari Partai Inuit Ataqatigiit yang berkuasa, mengatakan, "Kita tidak membutuhkan kemerdekaan saat ini. Kita memiliki terlalu banyak hal untuk dikerjakan. Saya pikir kita harus bekerja dengan diri kita sendiri, sejarah kita, dan kita akan memiliki banyak pekerjaan untuk memulihkan diri kita sendiri sebelum kita dapat mengambil langkah berikutnya."

Kepentingan Trump telah mengguncang status quo itu, dan ditambah dengan meningkatnya kebanggaan masyarakat pribumi terhadap budaya Inuit mereka, kemerdekaan menjadi isu paling penting dalam pemilihan.

Dalam debat terakhir di stasiun penyiaran Greenland, KNR, pada Senin (10/3) malam, para pemimpin dari lima partai yang saat ini berada di parlemen dengan suara bulat mengatakan bahwa mereka tidak memercayai Trump.

"Dia mencoba memengaruhi kita. Saya bisa mengerti jika warga merasa tidak aman," kata Erik Jensen, pemimpin mitra koalisi pemerintah Siumut.

Sebuah jajak pendapat pada bulan Januari menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Greenland mendukung kemerdekaan tetapi terbagi dalam hal waktu.

Menurut Julie Rademacher, konsultan dan mantan penasihat pemerintah Greenland, pada awalnya, kampanye pemilihan difokuskan pada kemarahan dan frustrasi yang ditujukan pada kesalahan historis oleh mantan penguasa kolonial Denmark.

"Tetapi saya pikir ketakutan terhadap pendekatan imperialis AS akhir-akhir ini menjadi lebih besar daripada kemarahan terhadap Denmark," kata Rademacher. [ab/uh]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG