Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraini, mengatakan lebih dari 400 pekerja rumah tangga (PRT) mengalami beragam tindakan kekerasan sejak tahun 2012 hingga 2021. Angka itu setidaknya mencerminkan bahwa selama ini PRT bekerja dalam situasi yang tidak layak.
"Data terakhir hingga Desember 2021, rata-rata terjadi 400-an kekerasan terhadap PRT dari berbagai aspek seperti psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia," kata Lita dalam diskusi daring, Minggu (16/1).
Praktik perbudakan modern hingga perdagangan manusia juga tak luput dari kehidupan para PRT. Pasalnya, berbagai kerentanan mulai dari jam kerja yang panjang, tidak memiliki hari libur, tak mempunyai jaminan sosial, kesehatan, dan ketenagakerjaan. Kemudian, beban kerja yang tak terbatas serta rentan terhadap eksploitasi, sampai tindak kekerasan. Bahkan, kekerasan ekonomi juga dialami PRT seperti upah yang tidak dibayarkan oleh pemberi kerjanya.
Mirisnya, kasus-kasus yang kerap menimpa para PRT kerap tak diketahui oleh publik karena keterbatasan akses untuk mengadukan apa yang dialaminya.
"Ada juga yang upahnya dipotong, bahkan ada warga ekspatriat di Jakarta memanfaatkan kekosongan hukum ini dengan mempekerjakan dengan eksploitasi. Jadi teman-teman PRT ini ada yang disekap, tidak dibayar upahnya tiga bulan. Bahkan, ada PRT yang tidak dibayar selama dua tahun," ungkap Lita.
Survei: 82% PRT yang Disurvei Tak Punya Jaminan Kesehatan
Sementara, dalam survei JALA PRT mengenai pemenuhan jaminan sosial pada Agustus 2021. Ada 868 PRT, dan 82 persen di antaranya tidak mendapatkan jaminan kesehatan nasional. Padahal tenaga PRT sangat dibutuhkan namun jaminan kesehatannya kerap terabaikan, tidak mendapat perhatian, dan dukungan dari negara.
"PRT dengan upah dari 20 sampai 30 persen dari upah minimum provinsi, mereka tidak bisa membayar jaminan kesehatan nasional secara mandiri," ujar Lita.
Sedangkan, terkait jaminan sosial ketenagakerjaan. Hampir 100 persen PRT tidak dapat ikut serta dalam jaminan sosial ketenagakerjaan untuk bisa mendapatkan jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan pensiun.
"Jadi ini situasi yang terjadi pada PRT. Tapi itu dianggap sebagai hal tak penting. Itu adalah hal yang sangat disesalkan," ucap Lita.
Atas berbagai keresahan yang dialami PRT selama ini. RUU Perlindungan PRT hadir untuk menjadi pelepas dahaga bagi para PRT. Namun, setelah 18 tahun berlalu RUU Perlindungan PRT masih menemui jalan buntu di DPR RI. Menurut Lita, masih ada dua fraksi dari partai besar yakni PDI Perjuangan, dan Golkar yang masih menolak akan pentingnya RUU Perlindungan PRT.
"Sampai sekarang belum diagendakan dalam rapat paripurna," tandasnya.
Tak Ada Alasan Tunda Pengesahan RUU PPRT
Sementara, dukungan agar disahkannya RUU Perlindungan PRT datang dari Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Jazuli Juwaini. Menurutnya, RUU Perlindungan PRT telah menjadi perhatian serius bagi PKS.
"Andai RUU ini bisa diselesaikan oleh satu fraksi saja maka PKS sudah mengesahkan RUU ini. Kenapa? Karena PKS merasa bahwa PRT adalah bagian dari keluarga PKS. Maka kami merasa bertanggung jawab untuk melindungi, dan menjaga mereka karena para PRT paling banyak dieksploitasi, bahkan tidak sedikit yang jadi korban perdagangan manusia. Kesejahteraan PRT juga belum pernah menjadi perhatian serius dari berbagai pihak," ujarnya.
Sedangkan, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo, mengatakan tak ada lagi alasan untuk menunda-nunda disahkannya RUU Perlindungan PRT. Pasalnya, melalui undang-undang itu bisa membuat PRT mendapatkan kesetaraan di bidang pekerjaan serta kehidupan yang layak.
"Kalau menjadi wakil rakyat seharusnya mengakomodasi rakyat. Jangan malah menzalimi rakyat. Buat saya agak aneh kalau ada fraksi yang tidak memperjuangkan rakyatnya sendiri. Karena untuk pekerja sektor formal sudah ada undang-undangnya. Tapi kalau PRT sampai saat ini belum jelas, dan menjadi catatan tersendiri," pungkasnya.
Adapun tujuan dari disahkannya RUU Perlindungan PRT agar memberikan kepastian hukum kepada PRT, dan pemberi kerja. Lalu, mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT. Kemudian, mengatur hubungan kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, kemanusiaan, dan keadilan. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan PRT. Terakhir, meningkatkan kesejahteraan PRT karena diikutsertakan dalam jaminan sosial.
Berdasarkan survei yang dilakukan International Labour Organization (ILO) pada tahun 2015 terdapat 4,2 juta PRT di Indonesia. Sementara JALA PRT memperkirakan jumlah PRT di tahun 2022 telah mencapai 5 juta orang. [aa/em]