Kejaksaan, Rabu (29/12), menunda pembacaan tuntutan hukum terhadap seorang tersangka utama teroris yang lolos dari penangkapan selama 18 tahun dan dituduh mendalangi sejumlah serangan yang menelan korban jiwa dan memicu konflik sektarian.
Aris Sumarsono, 58, yang lebih dikenal sebagai Zulkarnaen, adalah mantan komandan militer Jemaah Islamiyah, sebuah kelompok militan Asia Tenggara yang memiliki hubungan dengan al-Qaida dan telah ditetapkan AS sebagai kelompok teroris. Kelompok ini secara luas dituding mendalangi sejumlah serangan, termasuk pemboman tahun 2002 di Bali yang menewaskan 202 orang, sebagian besar turis asing, dan serangan di Filipina.
Jaksa dijadwalkan untuk menyampaikan tuntutan hukum pada hari Rabu (29/12), tetapi mengatakan mereka belum selesai mempersiapkannya. “Kami perlu waktu untuk mempelajari kasus ini sebelum menyampaikan tuntutan kami,'' kata jaksa Teguh Suhendro dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dilangsungkan secara jarak jauh karena pandemi virus corona.
Tuntutan itu awalnya dijadwalkan disampaikan pada 24 November, tetapi ditunda beberapa kali. Hakim Ketua Alex Adam Faisal memerintahkan jaksa untuk mengajukan tuntutan mereka pada 5 Januari.
Zulkarnaen lolos dari penangkapan sejak ditetapkan sebagai tersangka dalam serangan bom bunuh diri Oktober 2002 di Paddy's Pub dan Sari Club di Bali. Ia ditangkap tahun lalu di Lampung, di mana pembuat bom Jemmaah Islamiyah Upik Lawanga ditangkap seminggu sebelumnya. Keduanya diadili secara terpisah di pengadilan yang sama. Lawanga, yang berada dalam daftar pencarian polisi selama 16 tahun, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada 8 Desember.
Polisi mendapat informasi mengenai tempat persembunyiannya setelah menginterogasi beberapa tersangka militan yang ditangkap sebelumnya.
Sejak Mei 2005, Dewan Keamanan PBB mencantumkan Zulkarnaen dalam daftar orang-orang yang terkait dengan al-Qaida.
Zulkarnaen menjadi kepala operasi Jemaah Islamiyah setelah pemimpin pendahulunya, Encep Nurjaman -- yang juga dikenal sebagai Hambali – ditangkap di Thailand pada 2003.
Program Imbalan bagi Keadilan yang digelar Amerika Serikat menawarkan hadiah hingga $5 juta untuk penangkapannya. Ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang masuk daftar itu. [ab/ka]