Tautan-tautan Akses

Isu Penculikan Mahasiswa Selalu Keluar Jelang Pemilu


Panitia pertemuan aktivis 98 saat melakukan aksi protes di depan gerbang Kemenpora Jakarta dengan menggelar foto-foto 13 korban penculikan aktivis 97-98, Selasa, 24 Juni 2014. (Foto: dok)
Panitia pertemuan aktivis 98 saat melakukan aksi protes di depan gerbang Kemenpora Jakarta dengan menggelar foto-foto 13 korban penculikan aktivis 97-98, Selasa, 24 Juni 2014. (Foto: dok)

Anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Andre Rosiade mengatakan informasi yang menyebut keterlibatan Prabowo Subiantodalam penculikan aktivis pada tahun 1997/1998 merupakan kaset kosong yang terus diulang ketika menjelang pilpres dimana Prabowo Subianto merupakan salah satu kandidatnya.

Sementara KontraS menyatakan Jaksa Agung harus menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM terkait kasus ini untuk membuktikan siapa sebenarnya yang terlibat dalam kasus tersebut.

Baru-baru ini Lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) merilis sejumlah dokumen rahasia Amerika Serikattentang kebijakan luar negeri Amerika di Indonesia pada masaprareformasi tahun 1997-1999. Salah satunya terkait soalPrabowo Subianto yang disebut memerintahkan Kopassus untukmenghilangkan paksa sejumlah aktivis pada tahun 1998 .

Arsip tertanggal 7 Mei 1998 ini menyingkap catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai nasib para aktivis yang hilang itu, bahwa diperkirakan mereka ditahan di fasilitas Kopassus, yang terletak di jalan lama yang menghubungkan Jakarta dan Bogor.

Hasil percakapan seorang staf politik Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan seorang pemimpin organisasi mahasiswa memunculkan nama Prabowo Subianto.

Pemimpin organisasi mahasiswa tersebut mengakumendapat informasi dari Kopassus bahwa penghilangan paksadilakukan Grup 4 Kopassus. Informasi itu juga menyebutkanbahwa meskipun terjadi konflik di antara divisi Kopassus, Grup 4 masih dikendalikan Prabowo.

Anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Andre Rosiade kepada VOA, Jumat (27/7) mengatakan informasi soal keterlibatan Prabowo Subianto dalam penculikan aktivis pada tahun 1997/1998 sangat tidak benar.

Menurutnya Tim Mawar Kopassus memang telah mengamankan sembilan aktivis yang diduga akan mengacaukan sidang umum MPR tahun 1997 dan sejumlah personel Tim Mawar tersebut telah disidang di Mahkamah Militer. Penyelidikan menunjukkan sebagian personil Tim Mawar mengambil inisiatif sendiri tanpa ada perintah dari Prabowo Subianto, yang ketika itu menjabat sebagai Danjen Kopassus.

Sembilan mahasiswa yang diamankan oleh Tim Mawar, kata Andre semuanya telah dibebaskan dengan selamat. Tiga diantara mereka bahkan telah bergabung dengan Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto; yaitu Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang dan almarhum Haryanto Taslam.

Prabowo Subianto, saat berpidato di hadapan para anggota klub koresponden asing di Jakarta, 25 September 2013. (Foto: dok).
Prabowo Subianto, saat berpidato di hadapan para anggota klub koresponden asing di Jakarta, 25 September 2013. (Foto: dok).

Andre juga meragukan dokumen Amerika yang menyebut keterlibatan Prabowo Subianto berdasarkan informasi dari seorang pemimpin organisasi mahasiswa yang namanya saja tidak disebut.

"Sekarang tanya dong sama panglima ABRI waktu itu Wiranto, kan beliau yang sangat tahu pergerakan pasukan, beliau yang sangat tahu menyuruh siapa melakukan pengamanan, kenapa pak Prabowo yang dituduh terus. Kalau mau usut tanya Wiranto, ada orangnya sekarang jadi Menkopolhukam, yang sekarang masih hilang tanya dong sama Wiranto," jelasnya.

"Pak Prabowo sebagai Danjen Kopassus waktu itu, dia sudah bertanggung jawab kan, sudah mengambil alih kesalahan anak buahnya. Dia menyatakan saya bertanggung jawab atas kesalahan anak buah saya. Meskipun di pengadilan terbukti tidak ada sama sekali perintah pak Prabowo kepada tim mawar," lanjut Andre.

Hingga kini masih ada 13 aktivis yang masih hilang dan belum diketahui nasibnya.

Andre Rosiade menilai isu seperti ini seperti kaset rusak yang terus diulang menjelang pemilu tahun 2019. Isu ini juga mencuat pada tahun 2014 ketika Prabowo mencalonkan diri sebagai calon presiden.

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan KorbanTindak Kekerasan (KontraS) Feri Kusuma mengatakan pemerintah seharusnya dari sejak awal menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM kasus Hak Asasi Manusia terkait kasus penghilangan aktivis 1997/1998.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama korban pelanggaran HAM berat masa lalu melakukan aksi di depan Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, 31 Maret 2016. (Foto: dok).
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama korban pelanggaran HAM berat masa lalu melakukan aksi di depan Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, 31 Maret 2016. (Foto: dok).

Menurutnya Presiden Jokowi semestinya memerintahkan Kejaksaan Agungmenindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM ke prosespenyidikan untuk membuktikan siapa sebenarnya yang terlibatdalam kasus tersebut sehingga kasus ini tidak menjadipermainan politik terus.

KontraS dan lembaga hak asasi manusia lainnya, tambahnya, sudah mendesak pemerintah untuk menyelesaikan kasus yang dikategorikan pelanggaran HAM berat.

"Komnas HAM juga sudah melakukan penyelidikan. Dugaan-dugaan dari Komnas HAM juga sudah banyak disebutkan. Bukti-bukti awal sudah ada.Kenapa ini tidak pernah ditindaklanjuti. Nah, hari ini muncul lagi isu-isu seperti itu di publik. Nah, ini ada kaitannya dengan apa? Banyak orang menduga ini ada kaitannya dengan politik menjelang pilpres. Nah, supaya untuk mendudukan perkara ini di meja hukum, maka perlu kejaksaan agung melakukan penyidikan. Kalau benar Wiranto terlibat, Prabowo terlibat, ya sudah proses hukum, lebih fair," kata Feri Kusuma.

Staf Ahli Deputi V Bidang Politik, Hukum dan HAM Kantor Staf Presiden, Ifdal Kasim menjelaskan proses menuju penuntasan kasus pelanggaran HAM masih terus berjalan.

"Sekarang ini dicoba untuk dipecepat proses penyelesaiannya dengan memfasilitasi pertemuan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk mengidentifikasi kasus-kasus mana yang bisa diselesaikan terlebih dahulu. Selain dicari jalan yang sifatnya rekonsiliasi. Mudah-mudahan dalam ke depan... adalah yang bisa diselesaikan," jelas Ifdal.

Yang menjadi kendala penyelesaian kasus ini, antara lain, masih diperlukan bukti tambahan dari hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. Selain itu, lanjut Ifdal, Kejaksaan Agung juga meminta pengadilan HAM Ad Hoc dilaksanakan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu.

Menurut Ifdal, jika ingin membentuk pengadilan HAM ad hoc, harus ada rekomendasi DPR terlebih dahulu. Meski demikian, tambah Ifdal, tanpa rekomendasi pun, Presiden Jokowi berupaya menyelesaikan kasus-kasus tersebut. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG