Israel pada minggu ini menggunakan peraturan darurat yang baru diberlakukan untuk menutup media yang berbasis di Lebanon karena menganggap media tersebut membahayakan keamanan nasional.
Kabinet keamanan Israel, pada Minggu (12/11), melakukan pemungutan suara untuk memblokir akses ke berita satelit Al Mayadeen di Israel karena “melakukan upaya di masa perang untuk merugikan kepentingan keamanan [Israel] dan untuk mencapai tujuan musuh,” demikian menurut sebuah pernyataan dari kabinet.
Pemungutan suara tersebut adalah yang pertama kalinya di mana Israel menggunakan peraturan darurat yang disahkan pada bulan lalu. Peraturan darurat tersebut memungkinkan pemerintah menutup sementara saluran berita yang dianggap membahayakan keamanan nasional.
Setelah pemungutan suara tersebut Menteri Komunikasi Shlomo Karhi mulai bekerja sama dengan polisi dalam usulan pemblokiran situs Al Mayadeen dan penyitaan peralatan yang terkait dengan stasiun tersebut, demikian menurut juru bicara kementerian komunikasi Israel.
Juru bicara tersebut menambahkan bahwa Karhi telah meminta panglima militer Israel di Tepi Barat untuk menutup kantor Al Mayadeen di wilayah itu.
“Siaran seperti ini mengidentifikasi musuh sekaligus merugikan keamanan negara dan akan diblokir. Siaran dan laporan Al Mayadeen bermanfaat bagi organisasi teroris yang tercela, dan sudah waktunya untuk membalas mereka,” kata Karhi saat mengumumkan penutupannya.
Beberapa media seperti Times of Israel mengkategorikan media tersebut sebagai pro-Hizbullah. Pihak lain, seperti Reuters, menyebutnya sebagai media pro-Iran.
Al Mayadeen, yang menggambarkan dirinya sebagai saluran satelit media Arab independen, belum membalas email permintaan komentar dari VOA.
Federasi Jurnalis Internasional, atau IFJ, pada bulan lalu mengkritik peraturan darurat tersebut sebagai “upaya untuk menyensor” liputan perang “menggunakan keamanan nasional sebagai alasan untuk membatasi media yang kritis.”
Pada Selasa (14/11), IFJ menggambarkan larangan Al Mayadeen sebagai “pukulan serius terhadap pluralisme media dan hak masyarakat untuk mengetahui.”
Ketika Israel pertama kali mengusulkan sejumlah peraturan media tersebut, para pejabat mengatakan pemerintah mengambil langkah-langkah untuk menutup lembaga penyiaran Qatar, Al Jazeera.
Satu minggu setelah serangan teror 7 Oktober terhadap Israel, Karhi dalam sebuah wawancara dengan Radio Angkatan Darat Israel menuduh Al Jazeera menjadi “corong propaganda” untuk Hamas dan membuat tentara Israel rentan terhadap serangan.
Menurut kantor berita Reuters, Pemerintah Israel marah atas hubungan Qatar dengan Iran dan Hamas, namun Israel juga mengharapkan Qatar membantu mendorong Hamas untuk membebaskan lebih dari 200 sandera yang masih ditahan di Gaza.
Saat ditanya mengapa kabinet tidak juga memerintahkan pemblokiran Al Jazeera, juru bicara Kementerian Komunikasi Israel mengatakan hal itu belum dibahas.
Peraturan yang disahkan pada tanggal 20 Oktober mengizinkan menteri komunikasi – dengan persetujuan menteri pertahanan dan kabinet keamanan – untuk menutup media asing selama keadaan darurat yang berlangsung saat ini.
Pengadilan distrik harus menguatkan atau menolak perintah tersebut dalam waktu tiga hari. Perintah ini berlaku selama 30 hari tetapi dapat diperpanjang untuk periode 30 hari tambahan.
Ancaman penutupan media terjadi dalam apa yang digambarkan oleh Komite Perlindungan Jurnalis atau CPJ sebagai bulan paling mematikan bagi jurnalis sejak kelompok kebebasan pers mulai mengumpulkan data pada tahun 1992.
Menurut CPJ, sejak perang dimulai, setidaknya 42 wartawan telah terbunuh, termasuk 37 warga Palestina, empat warga Israel, dan satu warga Lebanon. [my/rs]
Sebagian informasi dari laporan ini diambil dari Reuters.
Forum