Pada Oktober 2016, Umm Aysha dan ketiga anaknya berkumpul bersama kerumunan wanita lain, di lahan di luar pusat perbelanjaan yang dibom. Semuanya mengenakan kerudung hitam seperti yang diperintahkan ISIS.
Mereka berada di pinggiran kota Mosul di Irak, melarikan diri dari pertempuran ketika pasukan Irak, Suriah dan koalisi menghantam ISIS di seluruh wilayah dari kawasan ke kawasan, kota ke kota dan desa ke desa. "Rumah kami dibom," katanya kepada VOA, menjelaskan mengapa ia melarikan diri.
Pertempuran mereda dan sedikit demi sedikit, ISIS kehilangan tanah yang mereka kuasai selama tiga tahun sebelumnya. Pada hari Sabtu (23/3), setelah pertempuran lima tahun, para militan itu kehilangan sepetak tanah terakhir mereka, sebuah kamp yang dibom di Suriah.
“Khilafah” yang dulu mereka proklamirkan, dengan menduduki wilayah yang luas di Irak dan Suriah serta bertekad menghancurkan, sekarang merupakan pemberontakan yang sukar dipahami.
Namun selain hancurnya rumah, dan keluarga, ISIS juga meninggalkan ancaman baru, kata Penasihat Pasukan Demokratik Suriah yang didukung AS, Badran Chiya Kurd, yang menyatakan kemenangan terakhir itu. Militan ISIS berkumpul kembali dan berharap untuk melanjutkan serangan di Suriah, Irak dan di seluruh dunia, katanya.
Pemugaran bekas tempat-tempat yang dikuasai ISIS, termasuk kota-kota besar di Suriah dan Irak, akan memerlukan kemauan politik, investasi dan pendidikan, menurut Kurd. Jika kota-kota itu tetap berantakan tanpa pembicaraan mengenai layanan-layanan atau perekonomian, maka ekstremisme akan terus berkembang, tidak peduli siapa yang secara resmi memimpin. (ps)