Sebuah gugatan hukum yang diajukan ke pengadilan federal di Washington, DC, hari Kamis (15/12), mengungkapkan bagaimana kelompok militan Negara Islam (ISIS) mendapatkan dana untuk membiayai operasi-operasi mereka.
Gugatan itu bertujuan untuk menyita empat benda kuno -- sebuah cincin, dua keping uang emas dan sebuah batu bertulis kecil, yang bernilai ratusan ribu dolar dan akan dijual oleh ISIS.
Menurut jaksa penuntut, ini adalah pertama kalinya Amerika menggunakan peraturan yang memungkinkan pemerintah untuk mencari dan menyita aset-aset milik kelompok teroris.
“Kami berharap dengan cara ini, pasaran benda-benda kuno itu akan merosot,” kata Arvind Lal, kepala bagian penyitaan aset dan pencucian uang pada kantor kejaksaan di Washington, DC.
Gugatan itu khusus menyebutkan bahwa cincin seperti yang dicari itu sebelum ini laku terjual US$260 ribu, sedangkan batu bertulis yang diperkirakan berasal dari Suriah utara bernilai antara $30 ribu sampai $50 ribu. Tidak disebutkan berapa harga sekeping uang emas, yang salah satunya berukiran Kaisar Romawi Hadrian dari abad pertama, dan yang satunya lagi bergambar penggantinya, Kaisar Antonius Pius.
Foto-foto benda antik itu ditemukan dalam sebuah komputer setelah serangan udara AS di Suriah yang menewaskan tokoh ISIS Abu Sayyaf.
Dokumen yang ditemukan kemudian menunjukkan bahwa Abu Sayyaf, sebagai kepala bagian benda-benda purbakala ISIS, memberi izin penggalian benda-benda kuno di kawasan yang dikuasai kelompok itu dan hasilnya dijual untuk mengongkosi operasi ISIS.
Kelompok ISIS dikabarkan mendapat sedikitnya 20 persen dari hasil penjualan benda-benda kuno itu di pasar gelap. Menurut butir-butir dalam tuntutan hukum itu, setelah Abu Sayyaf tewas, di rumah tokoh ISIS itu ditemukan sejumlah benda-benda kuno termasuk ratusan keping uang emas, yang “tampaknya sedang siap untuk dijual di pasar internasional.” Benda-benda kuno itu kemudian dikembalikan kepada pemerintah Irak. [isa/sp]