Kepala tim perunding nuklir Iran, Kamis (24/2), meminta pemerintah negara-negara Barat agar mengambil keputusan yang diperlukan untuk meresmikan kesepakatan pada pembicaraan di Wina tentang menghidupkan kembali perjanjian nuklir penting tahun 2015.
"Tidak peduli seberapa dekat kita dengan garis finis, tidak selalu ada jaminan untuk mencapainya," kata Ali Bagheri dalam cuitannya di Twitter setelah terbang kembali ke Teheran untuk berkonsultasi mengenai pembicaraan itu, yang menurut Iran telah mencapai tahap "kritis".
"Untuk menyelesaikan pekerjaan ini, ada keputusan tertentu yang harus diambil oleh pihak Barat," kata Bagheri, tanpa merinci apa keputusan itu.
Kepulangan singkat Bagheri ke tanah airnya berlangsung ketika pasukan Rusia menyerang Ukraina, sehingga mengancam akan mengalihkan perhatian dari pembicaraan nuklir Iran dan melemahkan momentum yang dibangun setelah 10 bulan negosiasi yang terputus-putus.
Ketika Bagheri meninggalkan Wina, media-media Iran melaporkan bahwa Behrouz Kamalvandi, wakil kepala dan juru bicara Organisasi Energi Atom Iran, tiba di ibu kota Austria untuk melangsungkan "konsultasi teknis" dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Pembicaraan untuk memulihkan perjanjian 2015 yang dikenal secara resmi sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama melibatkan Iran serta Inggris, China, Prancis, Jerman dan Rusia secara langsung, dan Amerika Serikat secara tidak langsung.
Kesepakatan itu memberikan keringanan sanksi-sanksi kepada Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya, tetapi AS secara sepihak menarik diri dari kesepakatan itu pada 2018 di bawah presiden saat itu Donald Trump dan menerapkan kembali sanksi-sanksi ekonomi yang berat. Keputusan AS itu mendorong Iran untuk mulai membatalkan komitmennya sendiri.
Pembicaraan Wina berusaha untuk mengembalikan AS pada ke kesepakatan itu, terutama melalui pencabutan sanksi-sanksi, dan untuk memulihkan kepatuhan Iran terhadap komitmennya sendiri.
Dalam beberapa hari terakhir, hampir semua pihak telah melaporkan kemajuan dalam perundingan itu. Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mengatakan Rabu (23/2) bahwa pembicaraan telah mencapai "tahap kritis dan penting". Ia mengatakan ia berharap "masalah-masalah sensitif dan penting" yang tersisa akan diselesaikan dalam beberapa hari mendatang. [ab/uh]