Arena bakal calon presiden Amerika dari Partai Demokrat yang sudah penuh sesak menambah satu nama minggu ini, ketika mantan Walikota New York Michael Bloomberg secara resmi bergabung dalam persaingan pada hari Minggu. Ardita Dunellari dari VOA melaporkan bahwa investor dan dermawan miliarder berusia 77 tahun itu dikenal luas dan memiliki jutaan dolar dari kekayaannya sendiri untuk membiayai kampanye, tetapi jajak pendapat menunjukkan tokoh politik moderat yang pernah mencalonkan diri sebagai seorang Republik itu menghadapi skeptisisme di antara sebagian warga Demokrat.
Michael Bloomberg mengampanyekan kebijakan yang menurutnya akan membantu kelas menengah dan mengembalikan keadilan bagi ekonomi Amerika.
Miliarder itu mencalonkan diri ketika banyak warga Demokrat menentang ketidaksetaraan pendapatan di Amerika dan marah dengan orang-orang yang sangat kaya. Bloomberg mengandalkan resumenya untuk memenangkan pemilih: masa jabatannya sebagai mogul media dan teknologi yang sukses dan sebagai walikota yang merevitalisasi Kota New York setelah serangan teroris 11 September 2001.
John Hudak, analis di Brookings Institution, lembaga penelitian kebijakan di Washingtron, D.C., berkomentar mengenai peran Michael Bloomberg dalam pembangunan kembali kota New York setelah serangan 11 September 2001.
“Apa yang diwarisi oleh Michael Bloomberg secara harfiah adalah zona bencana di kawasan Manhattan Selatan, dan dia dapat membangun kembali kota itu secara signifikan dalam masa resesi,” jelasnya.
Sebagai walikota, Bloomberg melembagakan kebijakan penegakan hukum yang dikenal sebagai stop-and-frisk (“stop dan geledah”), yang secara tidak proporsional membuat warga Afrika-Amerika menjalani pemeriksaan polisi secara acak. Bloomberg baru-baru ini meminta maaf atas kebijakan tersebut, dan mengatakan dia tidak sepenuhnya memahami bagaimana hal itu berdampak pada warga minoritas, yang dipandang sebagai konstituen penting Partai Demokrat.
Ke depan, orang terkaya kesembilan di dunia itu diperkirakan akan menggelontorkan jutaan dolar untuk belanja iklan kampanyenya.
Tentang pengeluaran dana kampanye dari kocek sendiri itu, Dr. Larry Sabato, guru besar ilmu politik di University of Virginia mengatakan, “Belum pernah ada kandidat yang mengumumkan pencalonannya menjadi presiden dan dalam beberapa hari menghabiskan $37 juta dan itu baru permulaan.”
Jajak pendapat menunjukkan Bloomberg kini mendapat sekitar tiga persen dukungan dari pemilih Demokrat. Namun, dengan tidak adanya kandidat yang menonjol terdepan dalam pemilihan pendahuluan, sebagian analis mengatakan uang yang dimilikinya dapat memberinya pengaruh dan kebebasan di arena politik.
Larry Sabato dari University of Virginia kembali mengatakan, “Lebih baik bagi seorang kandidat untuk menghabiskan uangnya sendiri, daripada mengumpulkan ratusan juta dolar dari orang-orang yang menginginkan sesuatu, apakah itu menjadi duta besar atau ketentuan dalam hukum untuk menguntungkan bisnis mereka.”
Pada saat yang sama, uang itu bisa menjadi kewajiban politik dalam sebuah partai yang berjanji untuk mengubah kesenjangan yang semakin besar antara kaya dan miskin, seperti dinyatakan oleh Senator Elizabeth Warren, bakal calon presiden dari Partai Demokrat, pada suatu kesempatan.
“Saya mengerti bahwa orang kaya akan memiliki lebih banyak sepatu daripada kita semua. Mereka akan memiliki lebih banyak mobil daripada kita semua. Mereka akan memiliki lebih banyak rumah, tetapi tidak berarti bahwa mereka mendapatkan bagian yang lebih besar dari demokrasi,” kata Warren.
Bloomberg berpendapat bahwa dia adalah kandidat terbaik untuk mengalahkan Presiden Trump, dengan bermodalkan sentralisme politik dan kekayaannya yang besar. Namun, apakah semua itu akan bisa menarik pemilih, John Hudak mengatakan bahwa popularitas tidak mudah dibeli. “Presiden Trump terhubung dengan para pemilih dengan cara yang sangat pribadi. Tidak jelas apakah Michael Bloomberg memiliki karisma politik yang sama,” komentarnya.
Untuk saat ini, Bloomberg melewatkan persaingan di negara bagian yang paling awal mengadakan pemilihan pendahuluan pada bulan Februari 2020. Ujian besar pertamanya akan terjadi pada 3 Maret, ketika 14 negara bagian akan mengadakan pemilihan pendahuluan pada hari yang dikenal sebagai “Super Tuesday.” [lt/ab]