Direktur Perwilayahan Industri Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Ignatius Warsito, kepada VOA, Jumat (31/5) menuturkan bahwa izin usaha industri atas nama PT Pegatron Technology Indonesia telah berlaku efektif mulai 15 Maret 2019. Nantinya, Pegatron akan membuat komponen produk smart-home (komputer, alat-alat telekomunikasi nirkabel, dan sebagainya) dan tentunya smartphone.
"Sepengetahuan saya dari pengelola kawasan industri Batamindo, Pegatron telah melakukan investasi awal senilai Rp 50 miliar untuk membuat komponen produk smart home yang berlokasi di Kawasan Batamindo, Batam. Bila berjalan baik dan lancar akan menambah investasinya ke depan. Memang total yang akan mereka gelontorkan mencapai US$ 1,5 miliar," kata Warsito, Jumat (31/5).
Sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang diterima VOA, izin usaha Pegatron juga mencakup industri peralatan komunikasi. Bukan hanya memproduksi komponen produk smart home. Pegatron juga disinyalir akan memproduksi smartphone-chip Apple, yaitu untuk iPhone.
"Kalau dicermati dari lingkup izin usahanya, Pegatron juga memasukkan KBLI semi-conductor. Mungkin ke depan bisa jadi akan memproduksi serangkaian smartphone-chip ya," ungkap Warsito.
Untuk itu Pegatron menggandeng perusahaan elektronik Indonesia, PT Sat Nusapersada Tbk.
"Saya pikir demikian diharapkan ada kemitraan dengan industri lokal seperti Sat Nusapersada dan yang lainnya," tutur Warsito.
Sat Nusapersada sendiri sudah menginformasikan kerjasama dengan Pegatron ini ke Bursa Efek Indonesia BEI.
Relokasi Pegatron ke Batam membutuhkan sedikitnya 10 – 15 hektare lahan.
Perang Dagang Amerika-China Berdampak Luas
Pemindahan pabrik Pegatron dari China ke Batam ini merupakan dampak perang dagang antara Amerika dan China. Presiden Amerika Donald Trump pada 10 Mei lalu kembali menaikkan tarif impor barang-barang buatan China yang bernilai 200 miliar dolar, lebih dari dua kali lipat, yaitu dari 10 persen menjadi 25 persen. Trump juga sedang mengupayakan mengenakan tarif impor bagi barang-barang lain yang bernilai 300 miliar dolar.
Beberapa hari kemudian China membalas dengan mengenakan tarif pajak impor bernilai 60 miliar dolar terhadap barang-barang Amerika. Kementerian Keuangan China mengatakan pajak baru sebesar 5 – 25 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Juni itu akan berdampak pada 5.140 produk Amerika yang diekspor ke China. Pemerintah Tirai Bambu itu mengatakan tanggapan itu menarget kebijakan “unilateralisme dan proteksionisme perdagangan Amerika.”
"Salah satu faktor penyebabnya ya itu (perang dagang.red). Tapi itu sudah proses lama karena kerja sama dengan PT Sat Nusapersada. Saya dengar butuh lahan sekitar 10-15 hektaree dan akan membutuhkan tenaga kerja 2.000 orang," pungkas Warsito. [aa/em]