Pengumuman pemerintah terkait Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada 11-25 Januari, langsung memukul sektor pariwisata. Hanya dalam hitungan hari, reservasi wisata ke daerah tujuan favorit Yogyakarta, dibatalkan hingga 30 persen. Angka itu disebut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DI Yogyakarta, Deddy Pranowo Eryono, dalam perbincangan dengan media, Jumat (8/1).
“Sesudah ada pengumuman PSBB dari pemerintah pusat, wisatawan yang sudah reservasi, wisatawan yang sudah mau datang ke Yogya, membatalkan karena dia takut di daerahnya sendiri bisa keluar atau tidak, dan di Yogya bisa diterima atau tidak,” kata Deddy.
Deddy merasa sektor pariwisata disudutkan dalam penambahan kasus Covid 19 selama ini. Padahal, khusus di sektor hotel dan restoran verifikasi protokol kesehatan yang dilakukan pemerintah daerah sudah ketat. Demikian juga, ada proses sertifikasi CHSE yang dilakukan oleh Kementerian Pariwisata.
Hotel-Restoran Tercekik
Hampir sepuluh bulan pandemi ini, kata Deddy, membuat pengelola hotel dan restoran tercekik dan terengah-engah. Padahal, mereka tidak cukup bertahan, tetapi juga harus terus mengeluarkan biaya cukup tinggi untuk operasional. Deddy bahkan mengelompokkan kondisi usaha dalam lima tipe, yaitu kuat, setengah kuat, pingsan, hampir mati dan sudah mati. Hanya hotel bintang 4 dan 5 yang mayoritas masih kuat bertahan. Hotel bintang 3 ke bawah masuk dalam kategori sisanya.
“Kami membutuhkan relaksasi dari pemerintah untuk bisa bertahan, karena ini sangat memukul kita semua,” tambah Deddy.
Meski kondisinya makin terpuruk, Deddy menjamin sektor hotel dan restoran mendukung kebijakan PPKM dari pemerintah. Namun, sekali lagi dia berharap ada relaksasi terkait pajak setidaknya agar mereka mampu mempertahankan karyawan dan properti usaha.
GIPI Dukung Asal Serius
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DI Yogyakarta, Bobby Ardyanto juga memastikan pelaku industri ini mendukung langkah pemerintah. Namun, dukungan itu disertai dengan catatan.
“Catatannya adalah bagaimana PSBB atau PPKM ini bisa dilakukan secara rigid, yang kita harapkan monitoring, evaluasi dan penegakan hukumnya benar-benar dilakukan, sehingga PPKM ini membuahkan satu hasil, yang secara waktu tidak lama, sehingga ekonomi bisa digerakkan kembali,” ujar Bobby.
GIPI mengharapkan ada pengawasan penerapan PPKM secara ketat sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, apa yang diharapkan melalui pembatasan itu bisa menemui hasil. Jika tidak serius, dua sektor akan sama-sama menanggung dampak buruk, yaitu sektor kesehatan yang tidak terselesaikan dan sektor ekonomi yang justru kian terpuruk.
Bobby mengakui, komunikasi pengurus GIPI Indonesia belum dapat memotret situasi industri pariwisata setidaknya dalam tiga bulan ke depan. Dadi sisi reservasi maupun potensi bisnis lain yang dimungkinkan, kata Bobby, belum terlihat sama sekali.
“Relaksasi menjadi satu hal yang diharapkan bersama,” ujar Bobby.
Bobby mengakui, pasar wisata menjadi sangat dinamis sepanjang pandemi. Tantangan bagi pelaku adalah mengambangkan produk yang sesuai dengan kemauan pasar disesuaikan dengan kondisi yang ada. GIPI bahkan mengevaluasi langkah ini setiap tiga bulan sekali, mempertimbangkan pasar wisata yang demikian dinamis.
Pembatasan Wisata di Yogya
Pemerintah DI Yogyakarta sendiri sudah mengeluarkan aturan baru sebagai tindak lanjut keputusan pemerintah pusat terkait PPKM. Kepala Dinas Pariwisata DIY, Singgih Raharjo, memaparkan pihaknya sudah menerbitkan surat edaran pada Jumat (8/1) bagi pelaku wisata. Surat edaran itu antara lain meminta sektor pariwisata memastikan penerapan protokol kesehatan. Yogyakarta juga membatasi jumlah wisatawan, maksimal 50 persen dari kapasitas obyek. Jam operasional dibatasi pukul 19.00 WIB, melakukan skrining persyaratan dokumen kesehatan, membatasi pengunjung restoran maksimal 25 persen dan mendorong calon wisatawan melakukan reservasi sebelum berkunjung.
“Saya kira masih tetap bisa berjalan pariwisata ini, tetapi karena kondisinya memang seperti ini, muncullah kebijakan untuk pengetatan di sektor pariwisata ini,” ujar Singgih.
Mengenai kebijakan relaksasi pajak bagi industri pariwisata, menurut Singgih, tentu pemerintah tetap akan memikirkannya pada 2021 ini. Dia yakin, Kementerian Keuangan dan Pariwisata akan menerapkan sejumlah skema, untuk mengamankan industri pariwisata.
Hotel untuk Isolasi Mandiri
Dalam perbincangan daring BNPB, Jumat (8/1) Ketua PHRI Pusat Hariyadi BS Sukamdani juga mengeluhkan mengapa sektor usaha yang selalu dipojokkan dalam peningkatan kasus Covid-19. Sementara bukan tidak mungkin, penularan justru banyak terjadi di lingkungan tempat tinggal. Karena itu, pembatasan apapun yang menyasar sektor bisnis, bisa tidak efektif jika faktor dominan ini tidak tertangani dengan baik.
Hariyadi juga menyinggung soal hotel yang bisa menjadi sarana isolasi mandiri.
“Sebetulnya sudah terjadi sejak PSBB yang kedua, isolasi mandiri di hotel. Sudah banyak yang melakukan, hanya sebagian memang tergantung anggaran pemerintah,” ujar Hariyadi.
Soal anggaran pemerintah ini berpengaruh, karena memang ada sebagian isolasi mandiri yang dibiayai pemerintah, dan sebagian dibayar secara mandiri.
“Kami mengamati, yang berbayar ini juga cukup menarik, karena ketika jumlah kasus positifnya tinggi, permintaan itu cukup meningkat. Sekarang ini naik lagi,” tambah Hariyadi sambil menekankan, bahwa layanan ini memerlukan penerapan protokol yang ketat. [uh/ab]