Tautan-tautan Akses

Indonesia Targetkan “Zero” Kelahiran Bayi Talasemia Mayor


Seorang anak penderita Thalassaemia menjalani proses transfusi darah di Karachi 7 Mei 2009. Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam kategori “sabuk talasemia” atau negara yang memiliki frekuensi gen talasemia yang tinggi. (Foto: REUTERS/Athar Hussain)
Seorang anak penderita Thalassaemia menjalani proses transfusi darah di Karachi 7 Mei 2009. Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam kategori “sabuk talasemia” atau negara yang memiliki frekuensi gen talasemia yang tinggi. (Foto: REUTERS/Athar Hussain)

Pemerintah menargetkan tidak akan ada lagi kelahiran bayi yang mengidap talasemia mayor. Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam kategori “sabuk talasemia” atau negara yang memiliki frekuensi gen talasemia yang tinggi.

Pemerintah menargetkan untuk tidak lagi mencatatkan kelahiran bayi penderita talasemia mayor atau zero kelahiran bayi talasemia mayor. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Maxi Rein Rondonuwu, mengatakan target tersebut dapat dicapai dengan melibatkan berbagai pihak agar melakukan pencegahan sejak dini. Pencegahan itu dilakukan melalui skrining atau deteksi dini calon orang tua yang memiliki pembawa sifat atau carrier talasemia minor.

“Talasemia mayor diturunkan secara herediter (genetik -red) dari orang tua yang menjadi penyandang atau carrier. Oleh karena itu upaya deteksi dini untuk menemukan talasemia itu yang diharapkan dapat mencegah terjadinya perkawinan sesama carrier sehingga mencegah kelahiran bayi dengan talasemia mayor,” kata Maxi Rein dalam sebuah pengarahan media, Rabu (5/5).

Acara tersebut diselenggarakan sebagai peringatan Hari Talasemia Sedunia yang jatuh pada 8 Mei. Untuk tahun ini, pemerintah mengangkat tema “Zero Kelahiran Talasemia Mayor” sebagai bagian dalam peringatan itu.

Kampanye Pencegahan Talasemia disampaikan oleh Dokter Cut Putri Arianie, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, Rabu (5/5/2021). (Foto: Tangkapan Layar)
Kampanye Pencegahan Talasemia disampaikan oleh Dokter Cut Putri Arianie, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, Rabu (5/5/2021). (Foto: Tangkapan Layar)

Talasemia adalah kelainan darah yang merupakan kelainan genetik yang dapat menyebabkan penderitanya anemia dan merasa kelelahan.

Berdasarkan manifestasi klinisnya, talasemia terbagi menjadi talasemia mayor, talasemia intermedia, dan talasemia minor. Pasien dengan talasemia mayor membutuhkan transfusi rdarah utin seumur hidup yang bisa mencapai sekali dalam sebulan. Sedangkan pasien dengan talasemia intermedia juga membutuhkan transfusi, tetapi dengan frekuensi yang lebih rendah daripada penderita talasemia mayor. Sementara pasien dengan talasemia minor umumnya tidak menunjukkan gejala dan tidak membutuhkan transfusi.

Penderita Talasemia Mayor Naik

Ketua Persatuan Orang Tua Penderita Talasemia Indonesia (POPTI) Ruswandi mengatakan jumlah penyandang talasemia mayor mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2014, penderita penyakit kelainan darah itu hanya mencapai 6.647 orang, tetapi melesat ke angka 10.647 pada 2020.

Prinka Shahani, 8, yang menderita Thalassaemia, mengambil bagian dalam kampanye kesadaran talasemia di kota Siliguri, India timur laut, 12 Januari 2009. (Foto: Reuters/Rupak De Chowdhuri)
Prinka Shahani, 8, yang menderita Thalassaemia, mengambil bagian dalam kampanye kesadaran talasemia di kota Siliguri, India timur laut, 12 Januari 2009. (Foto: Reuters/Rupak De Chowdhuri)

Menurut Ruswandi, dari 23 provinsi di Indonesia, penyandang talasemia terbanyak berada di Jawa Barat (39,1 persen), disusul Jawa Tengah (13,6 persen) dan Jakarta (8,1 persen).

“Di Jawa Barat itu hampir setiap kota itu ada talasemia-nya,” kata Ruswandi.

Dengan jumlah penyandang talasemia mayor yang sebanyak sepuluh ribu maka setiap tahun dibutuhkan 24,3 juta CC (sentimeter kubik) darah untuk transfusi.

“Itu berarti kantong darah yang kita butuhkan 261 ribu kantong darah yang harganya kalau di BPJS itu Rp360 ribu. Maka pengeluaran untuk kantong darah saja itu sudah akan mencapai hampir Rp100 miliar setiap tahun,” jelas Ruswandi.

Dia berpendapat sangat penting untuk terus mengedukasi masyarakat untuk mencegah kelahiran talasemia mayor dari hasil pernikahan sesama pembawa sifat.

Skrining Talasemia

Dokter Cut Putri Arianie, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, mengatakan pencegahan talasemia dapat dilakukan dengan skrining, yaitu pemeriksaan darah dan analisis hemoglobin atau protein yang berada dalam sel darah merah. Skrining sebaiknya dilakukan sebelum menikah agar dapat menghindari perkawinan antarsesama penderita talasemia minor yang dapat melahirkan anak dengan talasemia mayor.

Seorang anak sekolah India memegang poster saat dia ikut serta dalam demonstrasi untuk meningkatkan kesadaran kondisi Thalassaemia di Kolkata pada 8 Mei 2012, pada Hari Thalassaemia Internasional. (Foto: AFP/Dibyangshu Sarkar)
Seorang anak sekolah India memegang poster saat dia ikut serta dalam demonstrasi untuk meningkatkan kesadaran kondisi Thalassaemia di Kolkata pada 8 Mei 2012, pada Hari Thalassaemia Internasional. (Foto: AFP/Dibyangshu Sarkar)

“Skrining ini kepada siapa? Pertama kita sarankan kepada saudara kandung keluarga penyandang talasemia. Yang ini bisa terlihat apabila di keluarga tersebut sudah ditetapkan oleh dokter diagnosanya adalah talasemia, maka saudara kandung yang dipunyai penyandang ini sebaiknya melakukan skrining supaya tahu,” imbau Cut Putri Arianie.

Pencegahan kelahiran bayi dengan talasemia mayor juga dapat menekan tingginya biaya pengobatan penyakit itu. Rata-rata tiap tahun talasemia menggunakan lebih dari 20 persen biaya pelayanan kesehatan yang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. [yl/ah]

Recommended

XS
SM
MD
LG