KTT BRICS ke-16 yang berlangsung selama tiga hari sejak Selasa (22/10) di Kota Kazan, Rusia, ditutup dengan pidato Presiden Rusia Vladimir Putin yang menyebut BRICS sebagai “blok negara-negara berkembang yang menjadi penyeimbang” Barat.
Tiga puluh enam pemimpin atau perwakilan negara menghadiri langsung KTT yang menyoroti kegagalan upaya yang dipimpin Amerika untuk mengisolasi Rusia karena langkah invasi Ukraina yang dilakukannya pada 24 Februari 2022.
Berbicara dalam forum itu, Menteri Luar Negeri Sugiono – yang diutus langsung oleh Presiden Prabowo Subianto – menyampaikan keinginan Indonesia untuk bergabung menjadi anggota BRICS. Ia juga mengajukan beberapa langkah konkret untuk memperkuat kerja sama BRICS dan Global South.
"Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum. Kita juga melihat prioritas BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih, antara lain terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan ataupun pemajuan sumber daya manusia,“ ujar Sugino dalam forum itu.
Ditambahkannya, lewat BRICS, Indonesia ingin mengangkat kepentingan bersama negara-negara berkembang atau Global South. Antara lain dengan menegakkan hak atas pembangunan berkelanjutan, di mana negara-negara berkembang membutuhkan ruang kebijakan, sementara negara maju harus memenuhi komitmen mereka; dan dengan mendukung reformasi sistem multilateral agar lebih inklusif, representatif, dan sesuai dengan realitas saat ini.
Sugiono mengarisbawahi pentingnya memperkuat badan internasional itu dan urgensi memiliki sumber daya yang memadai untuk memenuhi mandatnya.
Sedang Cari Alternatif Pola
Menanggapi keinginan Indonesia menjadi anggota BRICS, pengamat hubungan internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nanto Sriyanto, menilai hal ini dikarenakan Indonesia ingin memiliki alternatif pola pembangunan dari yang selama ini dianggap dominan.
Lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, selama ini mengedepankan peran pasar sehingga peran negara dianggap cukup “minimalis”. Sementara di kebanyakan negara-negara Selatan, peran negara dinilai penting karena infrastruktur perekonomian belum cukup mapan.
Kehadiran BRICS, tambah Nanto, akan membuka peluang adanya skema pembangunan yang tidak hanya didasarkan pada target ideal lembaga keuangan internasional, tetapi juga mendorong peran negara sehingga tidak senantiasa dipandang sebagai kekuatan negatif.
Meskipun demikian bergabungnya Indonesia ke BRICS tidak serta merta membuat Indonesia meninggalkan “Barat” sepenuhnya.
“Meskipun ada semacam kesan pembelahan, tetapi tidak terjadi saling mengekslusi karena memang hubungan perdagangan di antara kelompok BRICS dengan Barat sendiri relatif kuat. Kita tahu umpamanya India adalah salah satu negara yang sejak awal sudah di BRICS, tetapi juga hubungan ekonomi India dan Jepang relatif baik dan mereka bahkan punya semacam kemitraan strategis di isu-isu lai. Jadi saya rasa Indonesia tidak serta merta kemudian dengan bergabung BRICS akan meninggalkan pola yang lama,” ujarnya kepada VOA, Jumat (25/10).
Condong Jalin Hubungan ke Non-Barat
Diwawancara secara terpisah pakar hubungan internasional di Universitas Diponogoro, Mohamad Rosyidin, mengatakan Prabowo Subianto tidak terlalu khawatir dengan respons Barat jika Indonesia bergabung ke BRICS karena “sejak aawal terlihat Prabowo lebih condong menjalin hubungan dengan negara-negara besar non-Barat, seperti Rusia dan China.”
Sejarah dan reputasi Indonesia sebagai pemimpin Global South ditengarai akan memperkuat komitme Indonesia dan sekaligus memperkuat solidaritas negara-negara selatan.
Lebih jauh Rosyidin mengatakan ada dua hal mengapa BRICS penting bagi Indonesia. Pertama, strategis membuka peluang kerja sama ekonomi dengan “rising power”. Yang kedua, adalah simbolis perlawanan terhadap dominasi Barat. Ini sejalan dengan peran Indonesia sebagai “leader of global south”. Ia mendorong Indonesia mengikuti jejak langkah India yang menjadi salah satu negara kuat di BRICS, tetapi tetap menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat.
Anggota BRICS Kian Bertambah
Aliansi BRICS yang awalnya beranggotakan Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan ini telah melebarkan sayapnya dengan merangkul Iran, Mesir, Ethiopia, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
Turki, Azerbaijan, dan Malaysia juga telah secara resmi mengajukan permohonan untuk menjadi anggota; diikuti sejumlah negara lain telah menyatakan minat mereka untuk bergabung.
KTT BRICS dengan negara-negara berkembang mengusung tema “BRICS and Global South: Joint Building of a Better World”. Presidensi Rusia telah mengundang negara-negara anggota BRICS, negara-negara non-anggota BRICS, dan organisasi internasional seperti Commonwealth of Independent States (CIS), Shanghai Cooperation Organization (SCO), dan Eurasian Economic Comission (EEC). [fw/em]
Forum