CANBERRA/JAKARTA —
Pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan untuk membeli peternakan di Australia untuk mengamankan pasokan daging dan untuk mempromosikan keterampilan beternak, meniru langkah-langkah yang diambil negara-negara ekonomi baru lainnya seperti China, untuk berinvestasi di luar negeri pada sektor pertanian dan pemrosesan makanan.
Investasi yang direncanakan tersebut, yang masih dalam tahap awal dan memerlukan persetujuan dari Canberra, dapat memperbaiki hubungan antara kedua tetangga menyusul konflik perdagangan yang mengarah pada penangguhan penjualan ternak hidup dan pemberlakuan kuota-kuota daging sapi.
Permasalahan perdagangan tersebut dapat dibahas oleh Perdana Menteri Kevin Rudd dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungannya ke Jakarta, Kamis (4/7).
Australia menghentikan ekspor-ekspor ternak hidup pada 2011 setelah munculnya video yang menunjukkan perlakuan yang buruk terhadap binatang. Larangan itu dihapus, namun pemerintah di Jakarta kemudian memberlakukan batasan-batasan terhadap impor daging sapi dan ternak dalam rangka swasembada.
Kebijakan-kebijakan tersebut telah melukai kedua belah pihak dengan kelangkaan daging dan harga-harga yang lebih tinggi di Indonesia, sementara industri ternak di bagian utara Australia mengalami krisis, dengan melemahnya harga daging dan jatuhnya nilai lahan yang lebih jauh lagi diperburuk oleh kekeringan pada musim panas lalu.
Hubungan perdagangan yang lebih baik dapat mendorong perdagangan ternak dan daging sapi di Australia, eksportir daging sapi nomor tiga di dunia.
“Kami berencana membeli peternakan-peternakan di Australia,” ujar Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, menambahkan bahwa hal itu tidak hanya mendorong pasokan tetapi juga membantu perusahaan-perusahaan Indonesia belajar mengembangkan peternakan lokal.
Sebuah konsorsium BUMN, termasuk Perum Bulog, Rajawali
Nusantara Indonesia (RNI), dan Berdikari, berencana berinvestasi di Australia, ujarnya.
Para petani di Australia merasa frustrasi dengan konflik perdagangan daging sapi dengan Indonesia.
“Ini situasi yang gila. Indonesia memiliki 240 juta penduduk. Mereka lapar, mereka ingin protein,” ujar Russel Lethbridge, peternak generasi keempat di Queensland utara.
“Kita punya ternak yang siap dikirim, namun masih ada masalah.”
Australia, yang memiliki rencana ambisius untuk mendongkrak ekspor makanan ke Asia untuk memasok kelas menengah yang jumlahnya semakin meningkat, mengekspor sekitar 750.000 ternak setahun untuk Indonesia sebelum larangan ekspor diberlakukan. Namun pada dua tahun terakhir, kuota ekspor telah turun menjadi sekitar 250.000.
Investasi yang direncanakan tersebut, yang masih dalam tahap awal dan memerlukan persetujuan dari Canberra, dapat memperbaiki hubungan antara kedua tetangga menyusul konflik perdagangan yang mengarah pada penangguhan penjualan ternak hidup dan pemberlakuan kuota-kuota daging sapi.
Permasalahan perdagangan tersebut dapat dibahas oleh Perdana Menteri Kevin Rudd dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungannya ke Jakarta, Kamis (4/7).
Australia menghentikan ekspor-ekspor ternak hidup pada 2011 setelah munculnya video yang menunjukkan perlakuan yang buruk terhadap binatang. Larangan itu dihapus, namun pemerintah di Jakarta kemudian memberlakukan batasan-batasan terhadap impor daging sapi dan ternak dalam rangka swasembada.
Kebijakan-kebijakan tersebut telah melukai kedua belah pihak dengan kelangkaan daging dan harga-harga yang lebih tinggi di Indonesia, sementara industri ternak di bagian utara Australia mengalami krisis, dengan melemahnya harga daging dan jatuhnya nilai lahan yang lebih jauh lagi diperburuk oleh kekeringan pada musim panas lalu.
Hubungan perdagangan yang lebih baik dapat mendorong perdagangan ternak dan daging sapi di Australia, eksportir daging sapi nomor tiga di dunia.
“Kami berencana membeli peternakan-peternakan di Australia,” ujar Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, menambahkan bahwa hal itu tidak hanya mendorong pasokan tetapi juga membantu perusahaan-perusahaan Indonesia belajar mengembangkan peternakan lokal.
Sebuah konsorsium BUMN, termasuk Perum Bulog, Rajawali
Nusantara Indonesia (RNI), dan Berdikari, berencana berinvestasi di Australia, ujarnya.
Para petani di Australia merasa frustrasi dengan konflik perdagangan daging sapi dengan Indonesia.
“Ini situasi yang gila. Indonesia memiliki 240 juta penduduk. Mereka lapar, mereka ingin protein,” ujar Russel Lethbridge, peternak generasi keempat di Queensland utara.
“Kita punya ternak yang siap dikirim, namun masih ada masalah.”
Australia, yang memiliki rencana ambisius untuk mendongkrak ekspor makanan ke Asia untuk memasok kelas menengah yang jumlahnya semakin meningkat, mengekspor sekitar 750.000 ternak setahun untuk Indonesia sebelum larangan ekspor diberlakukan. Namun pada dua tahun terakhir, kuota ekspor telah turun menjadi sekitar 250.000.