Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan saat ini terjadi stagnasi penegakan hukum dan potensi merosotnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Hal tersebut terlihat dari pernyataan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin beberapa bulan lalu yang mengakui lemahnya pengawasan penegakan hukum kedua institusi yang mereka pimpin.
Hal tersebut merupakan kesimpulan dari beberapa kebijakan keliru yang dikeluarkan kedua instansi ini, antara lain kebijakan untuk menangguhkan penindakan hukum terhadap peserta pemilu yang diduga terlibat korupsi.
"Salah satu yang menyebabkan Indeks Persepsi Korupsi kita anjlok adalah korupsi di sektor politik. Oleh sebab itu, segala potensi tindak pidana korupsi harus diatasi dengan penegakan hukum yang kredibel,” ujar Kurnia saat berbicara dalam jumpa pers saat merilis “Pandangan Pemberantasan Korupsi 2024” Senin lalu (29/1),
Ia menegaskan bahwa penegakan hukum kasus korupsi tidak boleh ditunda, apalagi dengan alasan yang dibuat-buat seperti pemilihan umum.
Menurutnya, menjelang pemiihan umum inilah politisi berupaya mencari dana untuk membiayai kegiatan politiknya dan mendulang suara.
PPATK Paparkan Transaksi-Transaksi Mencurigakan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) beberapa kali menyampaikan temuan transaksi mencurigakan menjelang Pemilihan Umum 2024, misalnya transaksi mencapai Rp1 triliun dari kejahatan lingkungan yang mengalir ke anggota partai politik. Selain itu, 36,6 persen dana dari Proyek Strategis Nasional mengalir ke politisi dan aparatur sipil negara.
Temuan PPAT ini, ujar Kurnia, menunjukkan potensi korupsi serta pelanggaran sumber daya dan fasilitas negara saat pesta demokrasi ini.
Selain mendesak penuntasan perkara korusi, ICW juga mendesak KPK untuk fokus pada pengembalian kerugian negara akibat korupsi.
ICW memprediksi gejolak internal di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum akan selesai karena Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin administrasi badan itu masih disibukkan dengan isu politik.
Konflik internal itu terutama terkait pemulangan Deputi Penindakan KPK Inspektur Jenderal Karoyot dan Brigadir Jenderal Endar Prinatoro ke Markas Besar Polri, yang diduga kuat berbalut isu politik penanganan kasus balapan Formula E yang dipaksakan.
Puncaknya adalah penetapan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka pada November tahun lalu oleh Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya, karena diduga memeras atau menerima hadiah, atau janji yang berhubungan dengan jabatannya terkait penanganan kasus korupsi di Kementerian Pertanian periode 2020-2023.
Kurnia menegaskan status tersangka Firli merupakan titik nadir bagi kredibilitas KPK. Hilangnya teladan mendorong lahirnya pelanggaran lain di level bawah, termasuk pungutan liar di rumah tahanan KPK yang melibatkan 93 pegawai. Namun tidak akan terjadi perubahan pimpinan KPK dalam waktu dekat.
ICW secara khusus juga menyoroti RUU Perampasan Aset, yang diperkirakan tidak akan disahkan tahun ini mengingat fokus pemerintah dan DPR adalah pada pemilu.
Penanganan Korupsi Tak Terpengaruh Pemilu
Secara terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri mengatakan penanganan perkara korupsi oleh jajarannya tidak akan terpengaruh pelaksanaan Pemilu 2024. KPK, tegas Ali, akan selalu independen dan tidak akan terpengaruh tekanan politik dari pihak manapun.
Ia tidak mengomentari pernyataan ICW yang memproyeksikan vonis terhadap terdakwa kasus korupsi akan masih rendah tahun ini. [fw/em]
Forum