Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Senin (14/10), dalam pemaparannya menjelaskan sepanjang tahun lalu, ada 1649 putusan perkara dengan jumlah terdakwa 1718 orang. Dari jumlah tersebut, yang paling banyak dianggap dilanggar para terdakwa adalah pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 menjatuhkan hukuman penjara minimum 4 tahun sementara di pasal 3, hukuman penjara minimum 1 tahun. Penggunaan pasal-pasal tersebut, kata Kurnia, menyebabkan vonis terhadap pelaku korupsi menjadi ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Ia menjelaskan bahwa ICW membagi putusan hakim dalam tindak pidana korupsi ke dalam tiga kategori, yaitu ringan (di bawah 4 tahun), sedang (4 tahun sampai 10 tahun), dan berat (di atas 10 tahun). “Maka, tahun 2023 rata-rata vonis hakim saat ini ringan,” tuturnya.
Menurutnya, yang mendominasi praktik korupsi selama 2023 adalah korupsi yang merugikan keuangan negara yang jumlahnya mencapai 802 kasus. Praktik-praktik korupsi lainnya jauh lebih rendah, seperti suap (88 perkara), penggelapan (63 perkara), dan pemerasan (37 perkara).
Kurnia menjelaskan yang paling sering melakukan praktek korupsi adalah pekerja swasta, dan kemudian disusul oleh pegawai pemerintah daerah, kepala desa dan perangkat desa. Dia menegaskan, kepala desa dan perangkat desa kerap menduduki peringkat lima besar pelaku korupsi di Indonesia.
"Jadi omong kosong kalau ada yang mengatakan kita sudah serius dalam menindak pelaku korupsi. Proses penyidikannya bermasalah temuan dari tren penindakan, ternyata vonisnya pun tidak menggambarkan pemberian efek jera," kata Kurnia.
ICW juga menyoroti masih minimnya pengenaan pasal tindak pidana pencucian uang terhadap terdakwa kasus korupsi. Sepanjang 2023, hanya 17 orang yang dijerat dengan pasal pencucian uang. Rinciannya, kejaksaan menerapkan kepada 12 terdakwa, sementara KPK kepada lima terdakwa.
Kurnia menyebutkan, Kejaksaan Agung jauh lebih unggul ketimbang KPK dalam mengusut korupsi kerugian keuangan negara. ICW mendorong KPK ke depannya untuk lebih meningkatkan pengusutan korupsi kerugian keuangan negara. Menurutnya, delik kerugian negara memiliki kompleksitas yang berbeda dengan jenis korupsi lainnya karena memerlukan metode case building. Metode ini menuntut kompetensi tinggi dari penyidik karena mereka tak hanya mencari perbuatan melawan hukum tetapi juga mendeteksi adanya kerugian negara.
“Kejaksaan jauh mengungguli KPK dalam menuntut kerugian keuangan negara. Maka kami mendorong KPK agar lebih banyak menangani kasus dengan kerugian keuangan negara. Kalau suap kan tidak ada kerugian keuangan negaranya. KPK selama ini berpusat kepada suap,” tegasnya.
Kerugian negara akibat kasus korupsi selama tahun lalu, lanjut Kurnia, mencapai Rp 56 triliun. Ia mencatat, tahun yang paling banyak mencatat kerugian negara akibat kasus rasuah adalah 2021, yakni sebanyak Rp 62,9 triliun.
Sewaktu dimintai komentarnya oleh VOA terkait laporan ICW, anggota Dewan Pengawas KPK Periode 2019-2024, Albertina Ho, mengakui kinerja KPK makin hari kian menurun, Oleh karena itu ia menekankan bahwa rekam jejak tiap calon pimpinan KPK nantinya merupakan unsur penting dalam proses seleksi pimpinan dan dewan pengawas lembaga tersebut.
Sementara itu, menanggapi laporan ICW, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar hanya menyatakan bahwa lembaganya selama ini berkomitmen agar penegakan hukum sejalan dengan upaya menyelamatkan dan mengembalikan kerugian negara semaksimal mungkin.
Pada hari yang sama, ICW merilis laporanya, Kejaksaan Agung dilaporkan meraih penghargaan untuk kategori ”Kolaborasi Strategis (Efektivitas Penanganan Korupsi)” dari media iNews pada acara Kementerian dan Lembaga Awards 2024 yang diselenggarakan di MNC Convention Hall.
iNews menilai Kejaksaan RI di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin telah berhasil mengungkap sejumlah kasus mega korupsi yang merugikan negara ratusan triliun rupiah.
“Penghargaan ini tentu menjadi motivasi bagi kami karena media iNews telah memberikan perhatian intens bagi Kejaksaan dalam kinerja penanganan tindak pidana korupsi. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemberantasan korupsi yaitu terkait unsur kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara,” ujar Harli yang mewakili jaksa agung saat menerima penghargaan itu.
Kejaksaan Agung sepertinya patut berbangga hati, Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebelumnya melaporkan, tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
“Keberanian Kejaksaan dalam membongkar kasus-kasus besar dan high profile, mendapat apresiasi dan dukungan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan saat memaparkan hasil survei bertajuk Sikap Publik terhadap Putusan KPU, Persidangan MK, dan Isu Nasional yang dipantau secara daring dari Jakarta, April lalu.
Dalam temuan LSI, kepercayaan pubik terhadap Kejaksaan Agung pada Februari 2024 berada di angka 67 persen, sementara pada April meningkat menjadi 74,7 persen. [fw/ab]
Forum