Presiden Sudan Selatan meminta agar warganya tetap tenang dan menegaskan bahwa negaranya "tidak akan kembali berperang," setelah helikopter Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diserang dan seorang anggota awaknya tewas dalam misi penyelamatan pada Jumat (7/3).
Perjanjian pembagian kekuasaan antara Presiden Salva Kiir dan Wakil Presiden Pertama Riek Machar telah terancam dalam beberapa minggu terakhir akibat bentrokan antara pasukan sekutu mereka di Negara Bagian Upper Nile, timur laut Sudan Selatan.
Misi PBB di Sudan Selatan (UNMISS) menyatakan bahwa tim mereka sedang berusaha mengevakuasi anggota tentara Sudan Selatan dari daerah tersebut ketika helikopter mereka diserang, yang menyebabkan seorang awak tewas dan dua lainnya terluka parah.
UNMISS dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa seorang jenderal tentara Sudan Selatan dan perwira lainnya tewas dalam misi penyelamatan yang gagal, dan menambahkan bahwa insiden tersebut mungkin merupakan kejahatan perang.
Kiir mendesak warga untuk tetap tenang, dengan menyatakan: "Saya telah mengatakannya berulang kali bahwa negara kita tidak akan kembali berperang. Jangan biarkan siapa pun bermain hukum sendiri."
"Pemerintah yang saya pimpin akan menangani krisis ini. Kami akan tetap teguh di jalan perdamaian," imbuhnya.
Sudan Selatan, yang merupakan negara termuda di dunia, mengakhiri perang saudara lima tahun pada 2018 melalui perjanjian pembagian kekuasaan antara dua pihak yang bermusuhan, yaitu Kiir dan Machar.
Namun, sekutu Kiir menuduh pasukan Machar memicu kerusuhan di Kabupaten Nasir, Negara Bagian Upper Nile, dengan bekerja sama dengan Tentara Putih, sebuah kelompok pemuda bersenjata dari komunitas etnis Nuer yang sama dengan Wakil Presiden Machar.
Pada Jumat malam, media lokal melaporkan pernyataan dari kantor Machar yang mengutuk "tindakan biadab" tersebut.
"Upaya memulihkan perdamaian di wilayah tersebut tetap menjadi prioritas utama," tambah pernyataan itu, sementara Machar terus melibatkan semua pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya kekerasan lebih lanjut.
"Serangan terhadap personel UNMISS benar-benar menjijikkan dan dapat merupakan kejahatan perang menurut hukum internasional," kata Kepala UNMISS Nicholas Haysom.
"Kami juga menyesalkan pembunuhan terhadap mereka yang kami coba selamatkan," imbuhnya.
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric, mendesak agar dilakukan penyelidikan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang bertanggung jawab dan meminta pertanggungjawaban mereka.
Pemberontak berhasil menguasai sebuah garnisun pemerintah di wilayah tersebut pada Selasa. Menteri Informasi mengatakan kepada wartawan awal minggu ini bahwa seorang jenderal dan beberapa tentara berhasil selamat dari serangan itu dan masih terus melawan pemberontak.
Pemerintah Kiir merespons dengan menangkap beberapa sekutu Machar di ibu kota, Juba, termasuk Menteri Perminyakan Puot Kang Chol, Wakil Kepala Angkatan Darat Jenderal Gabriel Duop Lam, dan Menteri Pembangunan Perdamaian Stephen Par Kuol.
Yang terakhir dibebaskan pada Jumat, menurut juru bicaranya.
UNMISS menyatakan bahwa misi evakuasinya merupakan upaya untuk menghentikan kekerasan di Kabupaten Nasir, yang telah menyebabkan "banyak korban jiwa dan pengungsian warga sipil."
Diplomat regional dan Barat memperingatkan awal minggu ini bahwa kejadian tersebut dapat mengancam perjanjian damai 2018 yang mengakhiri perang saudara yang menewaskan 400.000 orang.
"Para pemimpin yang bermarkas di Juba harus menunjukkan komitmen mereka terhadap dialog damai dan mengutamakan kepentingan rakyat Sudan Selatan," kata pernyataan bersama dari sejumlah kedutaan besar, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa.
UNMISS juga meminta para pihak untuk "mematuhi komitmen mereka untuk menegakkan gencatan senjata dan melindungi integritas" perjanjian damai.
Ada juga kritik terhadap langkah politik terbaru oleh Kiir, yang digambarkan oleh para analis sebagai upaya untuk mengonsolidasikan posisinya dan menyingkirkan Machar.
Bulan lalu, Kiir memecat dua dari lima wakil presiden dalam pemerintahan persatuannya tanpa berkonsultasi dengan pemangku kepentingan lain, serta mencopot gubernur Negara Bagian Ekuator Barat, yang merupakan anggota gerakan Machar.
Kekhawatiran tentang meningkatnya permusuhan semakin meningkat.
Di Juba, Kedutaan Besar Kanada, Prancis, Jerman, Belanda, Norwegia, Inggris, Amerika Serikat, dan delegasi Uni Eropa mengutuk serangan tersebut melalui pernyataan bersama. Negara-negara tersebut mendesak dilakukannya dialog "di tingkat tertinggi untuk mencegah kekerasan lebih lanjut dan jatuhnya korban jiwa." [ah/ft]