Seperti dilaporkan oleh Patsy Widakuswara, kepala Biro VOA di Gedung Putih, siapa pun yang memenangkan pemilihan presiden pada bulan November dapat membawa perubahan dalam hubungan AS-Israel.
Dalam lebih dari 290 hari sejak perang Israel-Hamas dimulai, militer Israel telah menewaskan lebih dari 39.000 orang, sebagian besar warga sipil, menurut otoritas kesehatan Gaza. Sebagian besar dari 2,3 juta penduduk daerah kantong itu telah terusir dari rumah mereka.
Setelah pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Kamis (25/7), Wakil Presiden AS Kamala Harris menyampaikan seruan tegas untuk mengakhiri perang itu.
“Kita tidak bisa berpaling dari tragedi ini. Kita tidak bisa membiarkan diri kita menjadi mati rasa terhadap penderitaan, dan saya tidak akan tinggal diam,” tandas Harris.
Harris menegaskan kembali dukungannya terhadap hak Israel untuk membela diri setelah serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel.
Namun, Harris jauh lebih tajam dalam mengkritik perilaku perang Israel daripada Presiden Joe Biden, yang juga bertemu dengan Netanyahu pada hari Kamis.
“Selamat datang kembali, Perdana Menteri. Kita punya banyak hal untuk dibicarakan,” kata Biden.
Pada hari Jumat, perhatian beralih ke pertemuan Netanyahu dengan Donald Trump di kediaman mantan presiden itu di Florida. Trump pernah kecewa dengan Netanyahu setelah pemimpin Israel itu memberikan ucapan selamat kepada Biden atas kemenangannya dalam pemilihan umum 2020, dan mengkritik perang tersebut secara terbuka. Namun, Trump dan Netanyahu tampaknya telah memperbaiki hubungan.
“Jika kita menang, itu akan sangat mudah. Semuanya akan berjalan lancar dan sangat cepat. Jika tidak, kita akan menyaksikan perang besar di Timur Tengah, dan mungkin perang dunia ketiga,” ujar Trump.
Trump tidak memberikan bukti atas klaimnya. Dia menyoroti kebijakan pro-Israel selama masa jabatan pertamanya, termasuk menjadi perantara kesepakatan yang menormalisasi hubungan diplomatik Israel dengan beberapa negara Arab tetangganya. Dia juga mengakui aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan.
Di bawah tekanan untuk memenangkan kembali suara pemilih yang marah atas dukungan kuat Biden untuk Israel, Harris mungkin berusaha menerapkan pendekatan yang lebih seimbang.
Namun, siapa pun yang menang, pemerintahan baru di Washington dapat membawa beberapa perubahan dalam hubungan AS-Israel, terlepas dari apakah Netanyahu tetap berkuasa atau tidak. Pendapat demikian disampaikan oleh Aaron David Miller, mantan negosiator AS untuk Timur Tengah yang kini bekerja untuk Carnegie Endowment for International Peace. Dia berbicara dengan VOA melalui Skype.
“Jelas siapa pun yang menjadi perdana menteri harus berhadapan di satu sisi, mungkin dengan pendekatan Demokrat yang lebih kritis di bawah Kamala Harris, dan pendekatan yang tidak dapat diprediksi di bawah Presiden Trump.”
Jajak pendapat menunjukkan lebih banyak orang Amerika, khususnya dari kalangan Demokrat, yang menentang daripada mendukung aksi militer Israel di Gaza. [lt/ab]
Forum