Tautan-tautan Akses

Hari Pengungsi Internasional: Menilik Pendidikan Anak-anak Pengungsi di Indonesia


Anak-anak dan perempuan turut serta dalam menyampaikan suara mereka bersama pengungsi Afghanistan lainnya di depan kantor UNHCR, Jakarta, 24 Agustus 2021. (Foto: VOA/Indra Yoga)
Anak-anak dan perempuan turut serta dalam menyampaikan suara mereka bersama pengungsi Afghanistan lainnya di depan kantor UNHCR, Jakarta, 24 Agustus 2021. (Foto: VOA/Indra Yoga)

Bekerjasama dengan Organisasi Migrasi Internasional IOM, pemerintah Indonesia, lewat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berupaya keras memenuhi hak anak-anak pengungsi luar negeri untuk menempuh pendidikan. Meski belum semua anak pengungsi mau bersekolah, menyiapkan sistem pendidikan yang baik bagi mereka dinilai penting untuk masa depan mereka.

Surat Edaran Sesjen Kemdikbud RI No. 752553/A.A4/HK/2019 tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi Anak Pengungsi Luar Negeri, telah membuka jalan bagi 646 dari 1.595 anak pengungsi luar negeri yang berusia sekolah untuk menempuh pendidikan formal di lembaga kependidikan. Bahkan, 348 anak pengungsi luar negeri kini menempuh pendidikan di sekolah negeri.

Kebijakan pemerintah Indonesia untuk memenuhi hak atas pendidikan anak-anak pengungsi luar negeri patut diapresiasi. Pasalnya, Indonesia belum meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating Status of Refugees).

Kepala Misi Badan Migrasi Internasional (IOM) untuk Indonesia, Louis Hoffmann, menilai pemerintah Indonesia telah membuat sebuah komitmen yang kuat tentang pemenuhan hak atas pendidikan bagi anak pengungsi luar negeri.

Kepala Misi Badan Migrasi Internasional IOM Untuk Indonesia Louis Hoffmann. (Foto: Courtesy/IOM)
Kepala Misi Badan Migrasi Internasional IOM Untuk Indonesia Louis Hoffmann. (Foto: Courtesy/IOM)

“Sejak tahun 2015, dan diintensifkan sejak tahun 2018, ada upaya luar biasa untuk memastikan agar anak-anak pengungsi ini dapat memiliki akses pada pendidikan, dan pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen sangat kuat akan hal ini. Lewat serangkaian pertemuan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya dengan Satuan Tugas Antar-Kementerian Untuk Urusan Pengungsi di Indonesia, pernah dikeluarkan surat edaran tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Bagi Anak Pengungsi Luar Negeri yang memungkinkan mereka bersekolah di sekolah umum. Surat edaran ini dikeluarkan pada pertengahan tahun 2019 dan sejak saat itu kami telah membuat kemajuan berarti untuk mendorong anak-anak pengungsi bersekolah di sekolah umum,” ujar Louis dalam wawancara dengan VOA hari Sabtu (18/6).

Belum Semua Kota Beri Kesempatan Pendidikan Hingga SMA

Hingga tahun 2022, ada sembilan provinsi di Indonesia yang menjadi tempat transit atau akomodasi sementara yaitu Medan (Sumatera Utara), Kupang (Nusa Tenggara Timur), Batam serta Bintan (Kepulauan Riau), Makassar (Sulawesi Selatan), Surabaya (Jawa Timur), Kota Madya Jakarta Barat (DKI Jakarta), Tangerang dan Tangerang Selatan (Banten). Lalu, Pekanbaru (Riau) dan Lhokseumawe (Nanggroe Aceh Darussalam).

Namun, tak semua kota membuka akaes untuk anak-anak pengungsi melanjutkan ke jenjang pendidikan formal ke bangku SMA, sehingga mereka terpaksa ikut pendidikan kesetaraan atau paket C. Hanya anak-anak pengungsi luar negeri di Kota Makassar yang dapat mengakses jenjang SMA ketika sudah menyelesaikan pendidikan di tingkat SMP. Ada pula yang dapat melanjutkan pendidikan tinggi di dua universitas di Kota Makasaar.

Menanggapi hal itu, Louis menjelaskan bahwa anak-anak pengungsi luar negeri dihadapkan dengan persoalan kapasitas ruang sekolah saat ingin mendapatkan pendidikan.

"Semua kota ini menerima anak dalam jumlah yang berbeda dan beberapa masalah di masing-masing kota juga terkait dengan kapasitas ruang sekolah dan sejumlah masalah nyata. Ada berbagai dukungan yang kami berikan bersama dengan masyarakat lokal dan sistem pendidikan untuk mempromosikan akses anak pengungsi ke pendidikan," jelasnya.

IOM : Soal Ijazah Sekolah, Masih Dibahas

Tak sampai di situ, anak-anak pengungsi luar negeri di berbagai daerah kerap kesulitan ketika akan melanjutkan ke jenjang pendidikan SMA. Kesulitan tersebut disebabkan surat edaran itu tidak memberikan bukti lulus seperti ijazah. Namun, hanya surat keterangan telah mengikuti pendidikan dari kepala sekolah yang bersangkutan.

Pengungsi etnis Muslim-Rohingya mengikuti sekolah non-formal di kamp pengungsian di Kota Medan, Sumatera Utara, Selasa 22 Juni 2021. (VOA/Anugrah Andriansyah)
Pengungsi etnis Muslim-Rohingya mengikuti sekolah non-formal di kamp pengungsian di Kota Medan, Sumatera Utara, Selasa 22 Juni 2021. (VOA/Anugrah Andriansyah)

"Itu masih dalam pembahasan. Mereka memang mendapatkan sertifikat untuk kelas atau tingkat pendidikan yang telah diselesaikan, tetapi sejauh yang kami ketahui – khususnya ketika pengungsi sudah dimukimkan kembali – tidak adanya ijazah sekolah tidak menjadi penghalang untuk melanjutkan pendidikan. Meskipun demikian dalam diskusi dengan pihak berwenang, mereka memahami isu ini dan hal ini terkait dengan peraturan dan standar nasional, dan ini sedang diperbaiki. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memahami masalah ini dan telah menjadi mitra kuat kami untuk menyelesaikannya,” tambah Louis.

Rudenim: IOM & Kemendikbud Akomodasi Pendidikan Formal dan Non-Formal

Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Medan, Vincentius Purwo Hendratmoko, mengatakan ada sekitar 85 anak pengungsi luar negeri di Kota Medan yang sedang mengenyam pendidikan mulai dari tingkat PAUD, SD, hingga SMP.

"Itu yang di sekolah formal. Kalau (sekolah) yang non-formal itu juga sudah diakomodir jadi seperti program dari IOM memberikan pendidikan di penampungan itu. Sudah terakomodir hak-hak mereka," katanya kepada VOA, Selasa (21/6).

UNHCR mendampingi para pengungsi Rohingya di Aceh TImur, 5 Juni 2021. (Foto: Courtesy/UNHCR)
UNHCR mendampingi para pengungsi Rohingya di Aceh TImur, 5 Juni 2021. (Foto: Courtesy/UNHCR)

Menurut Moko, ada beberapa faktor yang membuat tidak banyak anak-anak pengungsi luar negeri yang mengenyam pendidikan formal di Kota Medan. "Kendalanya ada beberapa faktor bisa jadi memang si anak tidak ada niat (sekolah) atau mungkin terkendala masalah biaya karena pemerintah kita tidak menganggarkan itu," ujarnya.

Kendati demikian, pendidikan formal bagi anak-anak pengungsi luar negeri dinilai mampu mengurangi kejenuhan ketika berada di kamp penampungan. "Saya senang mereka bisa mengenyam pendidikan formal, karena di usia mereka itu bermain dan belajar," ucap Moko.

Penuhi Hak Atas Pendidikan, KPAI Serukan Kemdikbud Revisi Surat Edaran

Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mendorong agar Kemdikbud merevisi beberapa poin yang ada di Surat Edaran (SE) Sesjen Kemendikbud RI No. 752553/A.A4/HK/2019 tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi Anak Pengungsi Luar Negeri.

Anak-anak pengungsi etnis Muslim-Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian di Medan, Sumatra Utara. (Foto: Anugrah Andriansyah/VOA)
Anak-anak pengungsi etnis Muslim-Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian di Medan, Sumatra Utara. (Foto: Anugrah Andriansyah/VOA)

"Surat edaran itu juga perlu mengatur ketentuan-ketentuan tentang akses pendidikan untuk anak-anak pengungsi yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi. Mengingat saat ini sudah ada dua universitas yang menerima anak-anak pengungsi luar negeri untuk kuliah di Makassar," ujarnya ketika diwawancarai beberapa waktu lalu.

KPAI juga mendorong Kemdikbud melakukan sosialisasi terkait surat edaran tersebut kepada seluruh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) yang di wilayahnya terdapat anak-anak pengungsi luar negeri.

"Sehingga layanan pendidikan pada anak-anak pengungsi dapat dioptimalkan, mengingat banyak kendala di antaranya masalah komunikasi, bahasa, dan budaya," tandas Retno.[aa/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG