Masuknya seekor harimau Sumatera ke kawasan permukiman di Desa Tapus Sipagimbal, Kecamatan Aek Bilah, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut, kian menambah panjang riwayat konflik antara manusia dengan satwa berjuluk si raja rimba tersebut.
Menurut Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut, Hotmauli Sianturi, konflik harimau Sumatera dengan manusia di desa tersebut sudah berlangsung sejak Mei 2020. Puncaknya, pada 15 Agustus 2020 harimau Sumatera itu memangsa seekor kambing yang merupakan hewan ternak warga setempat. Keberadaan harimau Sumatera itu kemudian membuat masyarakat di desa tersebut resah.
"Kemudian 22 Agustus 2020, kami bersama petugas dari TNI-Polri akhirnya menyepakati untuk memasang kandang jebak di sana. Pada 24 Agustus 2020, ternyata harimau tersebut masuk ke kandang jebak yang dipasang oleh petugas," kata Hotmauli di Medan, Senin (31/8).
Harimau betina berusia 2-3 tahun itu kemudian dievakuasi dari desa tersebut ke Sanctuary Harimau Barumun Nagari. Berdasarkan hasil observasi, harimau tersebut mengalami anemia dan malnutrisi dengan berat badan hanya 45 kilogram. Namun, secara umum pada tubuh harimau itu tidak ada bekas luka jerat apa pun.
Di Kabupaten Tapanuli Selatan, harimau Sumatera kerap masuk ke kawasan permukiman masyarakat dan itu menjadi pemicu konflik. Hotmauli menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan harimau Sumatera masuk ke permukiman masyarakat.
"Pertama, jelas harimau kekurangan pakan di dalam kawasan hutan. Kemudian, secara perilaku juga memang umur dua sampai tiga tahun harimau baru belajar (mencari mangsa). Kemungkinan karena dia belum bisa bersaing dengan harimau dewasa makanya memangsa hewan ternak permukiman warga," jelasnya.
Hotmauli tak menampik jika faktor perburuan dan perambahan juga bisa menyebabkan harimau masuk ke dalam kawasan permukiman.
"Harimau itu merasa terganggu di dalam kawasan kemudian terpaksa ke luar. Jadi banyak faktor sebenarnya. Kebetulan desa dekat dengan kawasan (daerah jelajah harimau), akhirnya harimau sampai di sana," ujarnya.
Kemunculan harimau di permukiman masyarakat, kata Hotmauli, tak selalu menjadi ancaman. Bisa saja kawasan permukiman masyarakat merupakan daerah lintasan harimau itu sendiri.
"Banyak yang harus kita lakukan, edukasi terus-menerus kepada masyarakat bagaimana hidup berdampingan dengan harimau. Seperti yang saya bilang, harimau muncul tidak selalu menjadi ancaman. Harusnya desa itu harus mengenali di mana lintasan harimau," ungkapnya.
Menurut data dari BBKSDA Sumut,populasi harimau Sumatera di provinsi tersebut hanya 33 ekor. Harimau itu tersebar di beberapa lokasi mulai dari Suaka Margasatwa Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Mandailing Natal, hingga Tapanuli Utara (Batang Toru).
Sementara itu, Ketua Protection of Forest and Fauna (ProFauna) Indonesia, Rosek Nursahid mengatakan secara umum ada dua faktor utama yang menyebabkan harimau masuk ke kawasan permukiman masyarakat, yakni menyempitnya kuantitas dan menurunnya kualitas habitat harimau karena tergerus perluasan perkebunan dan hutan industri.
"Ketika habitat harimau terfragmentasi tentu saja akan menimbulkan potensi besar terjadinya konflik antara harimau dan manusia. Satu bentuk konflik itu harimau akan masuk ke permukiman. Karena harimau punya daya jelajah yang harus dia lewati dalam waktu tertentu. Jadi itu menjadi sebuah konsekuensi ketika habitat harimau terfragmentasi untuk peruntukan lain sehingga potensi konflik semakin tinggi," kata Rosek kepada VOA.
Kemudian, perdagangan bagian tubuh harimau juga menyebabkan terjadinya konflik manusia dengan si raja rimba tersebut. Kata Rosek, manusia berperan besar dalam terancam punahnya harimau Sumatera. "Harimau top predator dan tidak punya predator lagi. Ya sekarang saya lihat predatornya manusia itu sendiri," pungkasnya. [aa/ab]