Di tengah perebakan virus corona yang masih berlangsung, pertengahan Juni ini menandai akhir tahun pelajaran akademis siswa mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas di Amerika Serikat. Kebanyakan sekolah sudah kembali melangsungkan pembelajaran tatap muka sejak September 2021 lalu setelah sebelumnya melakukan pembelajaran secara virtual selama beberapa semester.
Meskipun situasinya sudah berangsur pulih, sejumlah guru seperti Peter Ballantoni prihatin dengan tahun-tahun pelajaran yang tidak normal yang menyebabkan para siswa ketinggalan pelajaran.
“Laju kegagalan siswa pada awal tahun ini sangat tidak menggembirakan,” kata Ballantoni, seorang guru musik di sebuah SMA di Patterson, New York.
“Empat puluh persen siswa kami tidak lulus di dua atau lebih kelas, padahal kami sudah berusaha mendukung mereka.”
Namun, alih-alih membantu para siswa menyusul materi pelajaran, Ballantoni dan para guru lain terpaksa harus memusatkan perhatian mereka pada kebutuhan emosional para siswa yang berjuang mengatasi isolasi yang lama akibat pandemi.
“Kami hanya sedikit menyinggung isu-isu pembelajaran dan harus memastikan murid-murid kami OK,” ujarnya. “Sekolah kami menghadapi lebih banyak perkelahian, isu keterasingan siswa, dan anak-anak bersembunyi – misalnya dengan lebih memilih makan siang di tangga, sudut ruangan, atau kamar mandi. Kami harus mengatasi hal itu terlebih dahulu. Pada dasarnya ini adalah sebuah tahun pelajaran ketiga yang hancur akibat COVID.”
Mengukur dampak pandemi terhadap siswa merupakan hal yang menantang pada tahap awal ini.
Tetapi para peneliti dan guru sepakat bahwa semua siswa pasti terdampak, meskipun setiap negara bagian dan sekolah mengelola dan berusaha menyeimbangkan kebutuhan antara keselamatan dan pembelajaran secara berbeda. [jm/em]