Tautan-tautan Akses

Gunung Fuji Kewalahan Hadapi Banyak Wisatawan


Pendaki menggunakan ponsel pintarnya untuk memotret matahari terbit di puncak Gunung Fuji, Selasa, 27 Agustus 2019, di Jepang. (Foto: AP/Jae C.Hong)
Pendaki menggunakan ponsel pintarnya untuk memotret matahari terbit di puncak Gunung Fuji, Selasa, 27 Agustus 2019, di Jepang. (Foto: AP/Jae C.Hong)

Gunung Fuji di Jepang bukan lagi tempat ziarah yang damai seperti dulu seiring dengan arus wisawatan yang mencapai jutaan setiap tahunnya, ditambah dengan banyaknya bus, truk pasokan, dan toko-toko makanan dan suvenir yang berada di sekitarnya.

Pihak berwenang menyatakan bahwa jumlah pendaki yang mendaki gunung berapi terkenal dunia tersebut, baik siang maupun malam, merupakan situasi yang berbahaya dan menjadi masalah ekologis.

“Gunung Fuji menjerit,” kata gubernur wilayah setempat pada pekan lalu.

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) memasukkan Gunung Fuji yang merupakan "ikon Jepang yang diakui secara internasional" ke dalam Daftar Warisan Dunia pada 2013.

Dengan latar belakang Gunung Fuji, seorang pemain paddleboarder berdiri berlayar di dekat gerbang Torii, gerbang masuk ke kuil Shinto, di Teluk Sagami, 6 April 2022, di Zushi, selatan Tokyo. (Foto: AP)
Dengan latar belakang Gunung Fuji, seorang pemain paddleboarder berdiri berlayar di dekat gerbang Torii, gerbang masuk ke kuil Shinto, di Teluk Sagami, 6 April 2022, di Zushi, selatan Tokyo. (Foto: AP)

Namun seperti yang terjadi di tempat-tempat seperti Bruges di Belgia atau Sugarloaf Mountain di Rio de Janeiro, penunjukan tersebut tak hanya menjadi berkah, tetapi sekaligus menjadi kutukan.

Jumlah pengunjung meningkat lebih dari dua kali lipat antara 2012 dan 2019 menjadi 5,1 juta, dan itu hanya terjadi di prefektur Yamanashi, titik awal utamanya.

Siang dan Malam

Pendakian untuk mencapai puncak gunung setinggi 3.776 meter itu terjadi baik siang maupun malam. Padahal rutenya cukup berat karena harus mengarungi hamparan pasir vulkanik hitam.

Pada malam hari, antrean panjang orang tampak mengular dalam trek perjalanan menuju ke puncak hanya untuk melihat matahari terbit di pagi hari.

Titik awal utama adalah tempat parkir mobil yang hanya dapat dicapai dengan taksi atau bus yang memakan waktu beberapa jam dari Tokyo, sekitar 100 kilometer jauhnya.

Tampak kompleks restoran dan toko yang menjual cenderamata serta makanan ringan dan minuman menyambut para wisatawan sebelum melakukan pendakian.

Mereka menggunakan tenaga generator diesel dan ribuan liter air yang mereka gunakan harus diangkut dengan truk. Truk juga membuang semua sampah.

“Saya melihat banyak sisa makanan dan botol minuman kosong berserakan di sekitar area cuci tangan di toilet,” keluh pendaki Jepang Yuzuki Uemura, 28 tahun.

Bahaya

Masatake Izumi, seorang pejabat setempat, mengatakan tingginya jumlah wisawatan meningkatkan risiko kecelakaan.

Beberapa orang yang mendaki pada malam hari "mengalami hipotermia dan harus dibawa kembali ke pusat pertolongan pertama", katanya kepada AFP.

Turis berjalan di kawasan Danau Kawaguchi, dekat Gunung Fuji, Jepang, November 2019. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)
Turis berjalan di kawasan Danau Kawaguchi, dekat Gunung Fuji, Jepang, November 2019. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

Hipotermia adalah kondisi di mana suhu tubuh seseorang drop di bawah suhu normal akibat kedinginan.

Setidaknya satu orang meninggal pada musim ini.

Dengan biaya akses sebesar 1.000 yen, pengunjung mendapatkan buklet dalam bahasa Jepangg, bahkan ada kode QR untuk versi bahasa Inggris, dengan disertai maklumat mengenai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Namun beberapa orang tidak menyadari betapa sulitnya pendakian menuju puncak yang memakan waktu lima hingga enam jam, di mana kadar oksigen lebih rendah dan cuaca dapat berubah dengan cepat.

Sekelompok pendaki mendaki ke puncak Gunung Fuji sesaat sebelum matahari terbit, Selasa, 27 Agustus 2019, di Jepang.(Foto: AP)
Sekelompok pendaki mendaki ke puncak Gunung Fuji sesaat sebelum matahari terbit, Selasa, 27 Agustus 2019, di Jepang.(Foto: AP)

“Di sana hampir musim dingin, sangat dingin,” kata Rasyidah Hanan, seorang pendaki berusia 30 tahun dari Malaysia, kepada AFP saat turun.

“Orang-orang harus disaring sedikit karena beberapa orang belum siap untuk mendaki Gunung Fuji. Mereka seperti mengenakan pakaian yang sangat tipis… Beberapa dari mereka benar-benar terlihat sakit.”

Pengendalian Massa

Ketika jumlah wisatawan kembali ke tingkat sebelum pandemi, bukan hanya Gunung Fuji saja yang membuat pihak berwenang khawatir.

Minggu ini para menteri bertemu untuk membahas langkah-langkah untuk mengatasi apa yang disebut oleh Kenji Hamamoto, pejabat senior Badan Pariwisata Jepang sebagai "kepadatan dan pelanggaran etiket" di lokasi-lokasi yang banyak dikunjungi wisatawan.

Orang-orang mendaki menembus kabut tebal saat menyusuri jalur Yoshida menuju puncak Gunung Fuji, Senin, 26 Agustus 2019, di Jepang. (Foto: AP)
Orang-orang mendaki menembus kabut tebal saat menyusuri jalur Yoshida menuju puncak Gunung Fuji, Senin, 26 Agustus 2019, di Jepang. (Foto: AP)

Untuk Gunung Fuji, pihak berwenang mengumumkan bulan lalu bahwa mereka akan menerapkan pengendalian massa untuk pertama kalinya jika jalur menjadi terlalu sibuk.

Pengumuman itu sendiri sudah berdampak dan pada akhirnya tidak ada tindakan yang diambil, kata Izumi.

Jumlah pengunjung diperkirakan akan sedikit menurun tahun ini dibandingkan 2019. Namun pada 2024 jumlah tersebut dapat meningkat lagi seiring kembalinya wisatawan, terutama dari China.

Gubernur Yamanashi, Kotaro Nagasaki, mengatakan pekan lalu bahwa Jepang perlu mengambil tindakan untuk memastikan Gunung Fuji tidak kehilangan penunjukan UNESCO.

Salah satu solusinya, katanya, adalah membangun sistem kereta api ringan untuk menggantikan jalan utama menuju titik awal utama bagi para pejalan kaki. [ah/ft]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG