Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Asia Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC) di Kota San Fransisco, Amerika Serikat (AS), baru saja berakhir pekan lalu. Beragam isu dibahas, termasuk upaya menyelamatkan lingkungan hidup dan menghadapi perubahan iklim yang makin ekstrem.
Melanjutkan komitmen para pemimpin APEC dalam “Visi APEC Putrajaya 2040,” para pemimpin di KTT APEC kali ini sepakat mengembangkan Inisiatif Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Initiative/ JETI) melalui kelompok-kelompok kerja energi. JETI diproyeksikan akan mengikutsertakan tenaga kerja, perusahaan dan investor swasta, serta masyarakat untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang adil dan inklusif.
Di atas kertas, JETI didorong untuk melibatkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), perempuan dan pihak lain yang selama ini belum diikutsertakan, yaitu masyarakat adat.
Dalam forum itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan tiga fokus utama, yaitu mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, kolaborasi yang setara, saling menguntungkan dan sejalan dengan Dokumen Bangkok tentang Economy and Prinsip Transaksi Energi yang adil. Fokus kedua adalah memastikan agar setiap ekonomi memiliki akses pada teknologi hijau yang terjangkau, berkelanjutan, dan modern; yang memerlukan transfer teknologi, pengembangan kapasitas, dan akses terhadap mineral kritis. Dan fokus ketiga adalah, mendorong mekanisme pembiayaan yang inovatif.
“Indonesia ingin jalin kerja sama investasi pengelolaan cadangan nikel untuk ekosistem baterai EV guna memastikan energi bersih tersedia bagi semua, sesuai prinsip no one left behind," kata Jokowi.
Greenpeace Indonesia, yang selama ini memperjuangkan isu iklim dan energi, menilai pesan yang disampaikan presiden dalam KTT APEC itu baik, tetapi kontraproduktif.
“Nah ini yang kami lihat sebagai kontraproduktif. Di satu sisi pak Jokowi ingin supaya transisi energi cepat terjadi dengan dukungan negara maju tetapi di sisi lain, Pak Jokowi juga membuka ruang pengrusakan alam Indonesia, membuka ruang tetap menggunakan energi kotor karena rencana yang dimiliki pemerintah Indonesia untuk menunjang industri ekstraktif itu tetap menggunakan PLTU batubara. Dan ini yang kita sesalkan. Dan ini berbahaya ke depannya," kata pengkampanye Greenpeace Indonesia Didit Haryo Wicaksono.
Ditambahkannya, industri nikel dan lainnya akan menggunakan PLTU-PLTU kawasan dengan ukuran yang sangat besar, yaitu hampir 14 gigawatt, yang siap dibangun dalam beberapa tahun ke depan. Sangat kuatnya pengaruh pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan besar dari industri batu bara membuat kebijakan yang ada tetap memberikan kesempatan industri batu bara untuk berkembang.
Padahal, tambah Didit, Indonesia sebenarnya dapat meninggalkan penggunaan batu bara karena potensi energi terbarukan yang dimanfaatkan baru mencapai 0,3 persen. Pertanyaannya kemudian adalah apakah pemerintah serius mengembangkan energi terbarukan dan benar-benar meninggalkan batubara yang berdampak sangat besar terhadap perubahan iklim. [fw/em]
Forum