Tautan-tautan Akses

Gempa Palu: Kisah Pencari Berita yang Sempat Kehilangan Kabar Orang Tua


“Saya berusaha berdiri, berlari mencari keluarga, tetapi tidak bisa. Rasanya kayak digoyang, kita nggak bisa berdiri tegak.”

Itulah yang dialami reporter VOA Indonesia, Yoanes Litha, saat gempa mengguncang Sulawesi Tengah, Jumat (28/09). Kala itu dia berada di Poso, sekitar 210km di tenggara Palu.

“Selama saya tinggal di Palu dan Poso, baru ini gempa yang sekuat ini. Gempa ini luar biasa. Para ibu dan perempuan banyak yang berteriak, pada menangis,” lanjut Yoanes.

Seorang ibu menangis karena tidak bisa melihat jasad putrinya yang telah dikubur massal.
Seorang ibu menangis karena tidak bisa melihat jasad putrinya yang telah dikubur massal.

Lelaki ini meyakini gempa yang mengguncang di sore hari tersebut, berbeda dari gempa-gempa sebelumnya yang pernah menghantam Sulawesi Tengah.

Selain karena guncangan yang keras, “listrik tiba-tiba padam, saya cari HP, mau tahu di mana sumber gempa ini, tetapi tidak bisa. Tidak ada sinyal.”

Pikirannya pun langsung terbang ke Palu, tempat Yoanes lahir dan dibesarkan. Kedua orang tuanya ada di sana.

“Saya bingung, khawatir. Mau menghubungi tetapi tak bisa.”

Setelah memastikan keluarganya di Poso aman, dan mengumpulkan berbagai bahan berita terkait bencana gempa di sana, keesokan paginya, Sabtu (29/09), Yoanes, langsung menuju Palu dengan sepeda motornya.

Memastikan kabar orang tua

Suasana hati Yoanes semakin tidak tenang ketika dia mulai mendekati Palu.

Dua buah perahu membentang di pinggir jalan. Warga sibuk mencari barang di antara puing-puing rumah mereka.

Yoanes bahkan menceritakan bahwa menurut warga, “air yang masuk ketinggiannya sampai sekitar enam meter.”

Saat itu dia sudah mengetahui gempa berpusat di dekat Donggala dan Palu, serta telah terjadi tsunami. Meskipun jaringan telpon rusak, internet tetap berfungsi.

Sebuah masjid yang terbenam air di Palu.
Sebuah masjid yang terbenam air di Palu.

Semakin dekat ke Palu, dia melihat pemandangan yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya, jalanan macet karena ada antrean panjang. “Di Palu jarang macet."

“Orang-orang mengantre di berbagai gudang dan kios, mengambil barang-barang yang ada di dalamnya. Banyak juga yang mengantre BBM, panjang sekali, antre lima jam untuk dapat lima liter.”

Yoanes segera menuju kediaman orang tuanya di Jalan Banteng, sekitar lima kilometer dari pinggir laut Palu.

“Hati saya kayak gimana gitu, nggak bisa berkata-kata. Saya berharap mudah-mudahan orang tua nggak apa-apa, mudah-mudahan rumah masih utuh.”

Dan dia mengaku perasaannya agak tenang, ketika sampai di pengkolan mendekati rumahnya.

“Banyak bangunan yang masih utuh. Dan ketika saya belok, melihat rumah masih berdiri tegak, aduh rasanya lega sekali. Ketika masuk, orang tua baik-baik saja, masih sehat-sehat.”

Suasana tanggal 4 Oktober, paska tsunami di Sulawesi Tengah.
Suasana tanggal 4 Oktober, paska tsunami di Sulawesi Tengah.

Yoanes bertutur orang tuanya bahkan bertanya-tanya mengapa sang anak tiba-tiba datang ke Palu.

“Gimana nggak datang, nggak ada kabar,” kata Yoanes menirukan apa yang disampaikan kepada orang tuanya saat itu.

“Setelah yakin semua (keluarga) baik-baik, saya kembali ke tugas saya memberitakan apa yang terjadi di sini.”

Pengalaman paling membekas

Ketika diwawancara pada Rabu (03/10), Yoanes, yang sudah lima hari meliput berita gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, menyebut bahwa mengabarkan berita bencana di kampung halaman sendiri adalah hal yang tidak gampang.

“Gimana ya, kadang saya ikut terbawa suasana. Beberapa kali saya tersadar bahwa saya sebenarnya ikut terdampak, jadi korban, meskipun secara tidak langsung.”

Yoanes juga melihat bagaimana Palu berubah, tidak hanya fisik karena diporak-porandakan bencana, tetapi juga secara emosional.

“Terasa sekali suasana kepanikan, melihat orang yang tidak berdaya, wajah memelas, menangis.”

Hal yang membekas bagi Yoanes sepanjang peliputan adalah ketika dia mendatangi Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie, yang telah berubah menjadi tempat pengungsian.

Di sana banyak ibu dan anak-anak yang menunggu berhari-hari, agar bisa terbang keluar dari Palu.

“Anak-anak menangis karena kepanasan. Itu membuat saya sedih karena terasa seperti anak saya sendiri.”

Apalagi toilet bandara tersebut sudah tidak bisa lagi digunakan.

Warga mandi di dekat puing-puing rumah mereka yang hancur karena gempa.
Warga mandi di dekat puing-puing rumah mereka yang hancur karena gempa.

Menurutnya banyak warga yang ingin meninggalkan Palu, karena mereka merasa trauma dan takut paska gempa.

“Kalau mau jujur, tidak semua tempat di Palu rusak karena gempa. Banyak rumah yang bagus berdiri. Tapi dampak gempa ini dirasakan oleh banyak orang, karena sulitnya mendapatkan BBM dan bahan makanan. Itu karena kios, pasar masih banyak yang tutup.”

Yoanes mengungkapkan bahwa bantuan yang paling dibutuhkan oleh warga adalah air bersih dan sarana mandi-cuci-kakus (MCK).

Selain itu, warga juga memerlukan bahan bakar minyak (BBM) dan listrik untuk menopang kehidupan sehari-hari mereka.

“Tiap malam orang di Palu seperti berburu listrik. Di mana ada genset, orang-orang akan berkumpul, menumpang.”

Berdasarkan data terkini, 1.571 orang meninggal dunia karena gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Selain itu, 2.549 mengalami luka berat, sementara 113 masih dinyatakan hilang. [rh]

Recommended

XS
SM
MD
LG