Seorang pengusaha, yang juga dikenal sebagai filantropis dan aktivis HAM, kembali diadili di Turki, Jumat (18/12). Kali ini ia dituduh melakukan spionase dan berusaha menggulingkan pemerintah sehubungan dengan kudeta yang gagal empat tahun lalu.
Kelompok-kelompok HAM menuding dakwaan-dakwaan yang dihadapi Osman Kavala bermotivasi politik dan menunjukkan ketidakadilan pihak berwenang.
Kavala (63), dibebaskan dari tuduhan terkait terorisme awal tahun ini karena diduga mengatur dan mendanai protes massal antipemerintah yang meletus pada 2013.
Namun, sementara para pendukungnya sedang menunggu pembebasannya dari penjara, pihak berwenang mengeluarkan surat perintah untuk menangkapnya kembali. Kali ini, pemerintah menuduhnya terlibat upaya kudeta yang gagal pada 2016.
Pengusaha itu menghadapi ancaman hukuman penjara seumur hidup jika terbukti bersalah atas tuduhan-tuduhan berusaha menggulingkan tatanan konstitusional negara. Ia juga menghadapi hukuman 20 tahun penjara atas tuduhan melakukan spionase militer dan politik untuk bersekongkol melawan Turki. Kavala membantah tuduhan-tuduhan itu.
Akademisi Henri Barkey, yang tinggal di Amerika Serikat dan juga didakwa dalam kasus tersebut, diadili secara in absentia.
Surat dakwaan sepanjang 64 halaman itu menuduh Kavala dan Barkey berkolaborasi merencanakan kudeta, yang menurut pemerintah Turki diatur oleh jaringan yang dipimpin oleh ulama Muslim Turki yang berbasis di AS, Fethullah Gulen.
Surat itu mengutip rekaman sinyal ponsel sebagai bukti yang menunjukkan bahwa Kavala dan Barkey bertemu di Turki pada saat upaya kudeta berlangsung. Kelompok-kelompok HAM menganggap dakwaan itu tidak masuk akal.
Kavala telah dipenjarakan sejak ditahan pada Oktober 2017, meskipun ada keputusan Pengadilan HAM Eropa untuk pembebasannya. Mahkamah Konstitusi Turki saat ini sedang meninjau gugatannya yang mempersoalkan penahanan prasidang yang berkepanjangan.
Beberapa kelompok HAM telah menyerukan agar ia segera dibebaskan, dan semua tuduhan terhadap dirinya dicabut. Mereka bersikeras mengatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung tuduhan-tuduhan tersebut.
“Osman Kavala seharusnya tidak menghabiskan satu menit pun di balik jeruji besi, apalagi lebih dari tiga tahun dalam penahanan pra-sidang,'' kata Direktur Eropa Amnesty International, Nils Muizniek.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mengkritik pembebasan Kavala dari tuduhan teror pada Februari lalu, dan menyerukan agar keputusan pemerintah untuk menangkapnya kembali dihormati. Panel hakim yang membebaskan Kavala saat ini sedang diselidiki, sehingga membuat banyak pihak mempertanyakan kemandirian pengadilan Turki.
Kavala dikenal atas dukungannya pada seni dan pendanaannya untuk proyek-proyek yang mempromosikan keragaman budaya dan hak-hak minoritas.
Erdogan menuduh Kavala sebagai kaki tangan miliarder sekaligus filantropis AS George Soros, yang dituduh pemimpin Turki itu mendalangi pemberontakan di banyak negara. [ab/uh]