Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi pergeseran dalam lanskap penugasan rohaniwan secara global, khususnya dalam Gereja Katolik. Secara historis, rohaniwan Katolik Eropa dan Amerika bertugas dalam pelayanan di Afrika, Amerika Latin, dan Asia, termasuk Indonesia. Namun, tren ini secara bertahap bergeser seiring pertumbuhan Gereja Katolik di Global South, termasuk Indonesia, yang semakin dewasa, sehingga kini berbalik menjadi “pengekspor” rohaniwan ke luar negeri.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan mayoritas Muslim dan populasi Muslim terbesar di dunia, tetapi dengan populasi umat Katolik yang signifikan di tempat-tempat seperti Flores di Nusa Tenggara Timur, sebagian Maluku, Papua, Sumatra Utara, dan Sulawesi Utara, selama beberapa dekade, telah menjadi tujuan bagi para imam Katolik asing dari Eropa—terutama dari Belanda, Jerman, dan kemudian dari Amerika Serikat. Mereka memainkan peran penting dalam membantu membangun komunitas Katolik, mendirikan sekolah, rumah sakit, dan membina perkembangan sosial dan spiritual setempat.
Seiring dengan berjalannya waktu, kini para imam Katolik Indonesia semakin banyak dikirim untuk memberi pelayanan di luar negeri, memenuhi tugas pastoral bahkan di negara-negara yang pernah dianggap sebagai pusat pengiriman imam ke luar negeri. Fenomena ini menandai berbaliknya peran—dulu Indonesia menerima imam asing, dan kini imam Katolik Indonesia dikirim ke berbagai negara di seluruh dunia, dari Amerika Serikat dan Kanada hingga beberapa bagian Eropa, Australia, dan bahkan Afrika.
Mengisi Kekurangan Imam di Global North
Penugasan imam Katolik Indonesia ke luar negeri mencerminkan tren yang lebih luas dalam Katolikisme global. Mereka tidak hanya dikirim untuk mengisi kekurangan imam di Global North (negara-negara maju), tetapi juga di negara-negara yang termasuk dalam kategori Global South (negara-negara berkembang dan kurang berkembang), termasuk Afrika, Amerika Selatan dan kawasan Karibia.
Salah satu faktor pendorong di balik tren ini adalah penurunan panggilan religius di negara-negara yang secara tradisional beragama Katolik. Negara-negara di Eropa dan Amerika Utara telah menyaksikan penurunan yang signifikan dalam jumlah pemuda yang memasuki seminari, yang menyebabkan banyak keuskupan berjuang untuk memenuhi kebutuhan spiritual komunitas mereka.
Sebaliknya, di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Katolik seperti Flores, jumlah pemuda yang memasuki kehidupan imamat relatif stabil atau bahkan meningkat. Di sinilah Gereja Katolik Indonesia berperan dalam mengisi kekurangan dengan mengirim imam ke luar negeri untuk melayani di tempat-tempat yang paling membutuhkan, termasuk di Amerika Serikat.
Pendapat di atas disampaikan oleh empat imam Katolik Indonesia yang kini melayani di luar negeri – tiga di Amerika Serikat dan satu di Republik Dominika. Mereka adalah Romo Dominikus Baok, SVD di West Virginia; Romo Stanley Jawa, SVD di Louisiana; Romo Johanes Teguh Rahardjo, CICM di Virginia; dan Romo Hendrik Hardum, CICM di Republik Dominika. Menurut mereka, pelayanan di manca negara ini merupakan panggilan yang sesuai dengan arti dan sifat Gereja Katolik sebagai institusi yang bersifat umum, universal, dan inklusif, serta memiliki semangat pelayanan global.
Dari Kupang ke West Virginia
Romo Dominikus (“Domi”) Baok, SVD, dari ordo Serikat Sabda Ilahi (Latin: Societas Verbi Divini/SVD), adalah lulusan Seminari Tinggi Santo Paulus di Maumere yang sekarang melayani sebagai Pastor Paroki Immaculate Conception di Montgomery, St. Anthony Shrine Mission di Boomer, dan Good Shepherd Chapel di East Bank, semuanya di West Virginia.
Romo Domi berbagi cerita dengan VOA mengenai perutusan dan pelayanannya hingga sampai di West Virginia, yang menurutnya merupakan bagian dari jangkauan global SVD, yang beroperasi di 86 negara dan terbagi dalam provinsi-provinsi. Dia ditugaskan di Provinsi Chicago, yang meliputi wilayah Amerika bagian timur, Kanada, dan Karibia. Dia dikirim ke West Virginia untuk memenuhi kebutuhan akan imam Katolik di keuskupan setempat sejak 2008.
“Jadi konteks saya itu dikirim untuk gereja di West Virginia makanya saya berada di sana. Jadi waktu saya sampai di sana, berdasarkan kebutuhan dari keuskupan. Pertama itu saya ditempatkan untuk bekerja dengan Romo Matheus Ro, SVD, dan setelah itu, setelah empat tahun saya dipindahkan untuk gereja sebagai administrator di salah satu paroki di Richwood. Setelah itu baru masuk ke (untuk menjadi pastor di) Boomer. Jadi itu situasi saya, seperti itu,” papar Romo Domi.
Romo Domi mengatakan, bagi para imam SVD, setelah mengucapkan kaul kekal, mereka diminta untuk memilih tiga tempat yang ingin mereka layani. Namun, penempatan pada akhirnya didasarkan pada kebutuhan keuskupan dan provinsi di negara manapun. Dalam kasus Romo Domi, Provinsi Chicago merupakan salah satu dari tiga pilihannya, dan oleh superior di provinsi itu dia diminta untuk melayani di West Virginia.
Dia juga menyinggung tentang peningkatan jumlah imam Indonesia yang melayani di luar negeri akhir-akhir ini, yang mencerminkan pergeseran imam yang lebih luas dari Timur ke Barat. Secara historis, para misionaris datang dari Barat ke Timur, tetapi kini yang terjadi adalah sebaliknya. Perubahan ini disebabkan oleh kekurangan imam di tempat-tempat seperti Amerika dan Eropa.
Romo Domi mengatakan, “Secara singkat, sebenarnya ada sebuah movement dari Timur ke Barat untuk menjawab kebutuhan yang ada di tempat-tempat di mana tidak ada banyak pastor untuk pelayanan gereja sekarang ini, seperti di Amerika atau di Eropa.”
Romo Domi mengungkapkan, misalnya, banyak paroki di West Virginia kekurangan imam, sehingga mendorong keuskupan untuk mendatangkan imam dari luar negeri untuk mengisi kekosongan tersebut.
“Jadi kami pergi itu karena kebutuhan misi di tempat-tempat di mana ada kekurangan imam. Contoh paling konkret, di Keuskupan kami di West Virginia itu terlalu banyak paroki yang kosong karena tidak ada imam. Karena itu Keuskupan Wheeling-Charleston itu membuat kontrak kerja untuk mendatangkan begitu banyak imam projo dari India,” ujarmya.
Singkatnya, ujar Romo Domi, ada aliran misionaris dari Timur ke Barat untuk mengatasi kekurangan imam dan mendukung misi Gereja untuk melakukan pelayanan bagi umat setempat.
Dari Maumere ke Louisiana
Proses penugasan di luar negeri yang mirip dialami oleh Romo Stanley Jawa, SVD, juga dari ordo Societas Verbi Divini, yang tiba di AS pada tahun 2008 dan memulai pelayanan pastoralnya di Mississippi sebelum menjadi pastor dua paroki, masing-masing Paroki Keluarga Kudus di Lawtell dan Paroki Santa Ana di Mallet, Louisiana sejak tahun 2014.
Perjalanan Romo Stanley, juga tamatan Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero di Maumere, juga termasuk pengiriman lamaran yang sebenarnya berisi kesediaan untuk melayani di manapun sesuai penugasan melalui tarekat SVD yang berpusat di Roma, Italia.
“Sebelum mengikrarkan kaul kekal untuk SVD, frater-frater diberi kesempatan untuk melamar bekerja di tiga negara di mana SVD bekarya di seluruh dunia. Saya mengirimkan lamaran itu, namanya Peticio Missionis, ke Roma untuk diputuskan di sana. Saya melamar tempat pertama itu ke Brazil, lalu kedua ke Spanyol, lalu ketiga ke Amerika Serikat. Itu saja. Tidak ada harapan bahwa nanti ke sini. Ternyata kemudian SVD pusat kami di Roma meminta saya untuk bekerja di Amerika Serikat,” ujar Romo Stanley.
Prosedur yang agak berbeda dialami oleh dua imam Indonesia dari Kongregasi Hati Maria Tak Bernoda (Latin: Congregatio Immaculati Cordis Mariae/CICM).
Dari Labuan Bajo ke Republik Dominika
Romo Hendrik Hardum dari Labuan Bajo, Flores, telah melayani bersama Kongregasi Hati Maria Tak Bernoda (CICM) sejak 1995. Setelah menjalani masa novisiat di Makassar dan studi filsafat di Jakarta, dia diutus ke Republik Dominika pada tahun 2001 untuk orientasi pastoral. Mengenang kembali tugas misinya, dia menuturkan, “Saya memilih Republik Dominika, dan dari tahun 2001 hingga 2004, saya melayani orientasi pastoral saya di sini.”
Setelah kembali ke Indonesia untuk menyelesaikan studi teologinya, Romo Hendrik ditahbiskan pada tahun 2007. Sejak itu, ia telah melayani di Republik Dominika. Tugas pertamanya adalah di sebuah paroki di ibu kota, Santo Domingo. Sekarang, pada tahun kelimanya sebagai pastor di Paroki St. Isidorus Sang Pekerja di Republik Dominika bagian utara, Romo Hendrik menjadi pastor kepala dan mengawasi komunitas besar yang beranggotakan sekitar 20.000 orang.
“Sampai saat ini ya kami, saya dengan beberapa konfrater, kami menjalani tugas, misi, dan pastoral kami melayani umat. Dan, Paroki ini sebetulnya cukup besar, jumlahnya itu kurang lebih 20 ribu dan memiliki banyak komunitas, banyak kampung. Saya melayani 28 kampung. Kami memiliki beberapa diakon tetap yang sangat membantu kami dalam melayani umat,” katanya.
Selain tugas pastoralnya, Romo Hendrik juga menjadi anggota tim Karya Keuskupan tingkat nasional dan baru-baru ini menjadi bagian dari tim misi kepausan nasional.
“Jadi saya masuk di situ dan banyak pekerjaan, banyak tugas yang kami kerjakan dan saat ini kami sedang mempersiapkan diri untuk mengadakan dan mengikuti kongres misi untuk Amerika di Puerto Rico pada bulan November nanti,” ujarnya, seraya menambahkan, “selain itu juga, pada level CICM saya baru saja selesai term sebagai Ketua CICM di sini, kami menyebutnya superior, itu sejak tahun 2015 sampai 2024 ini. Jadi baru saja selesai tugas saya dan memang cukup berat juga, tetapi saya tetap enjoy dalam menjalankan tugas perutusan dan tugas pastoral saya,” Romo Hendrik menekankan pentingnya panggilan misionaris, yang didasarkan pada misi universal Gereja.
“Kami harus pergi ke bangsa-bangsa, pergi ke negara-negara di mana kehadiran kami itu betul-betul dibutuhkan…Jadi ini menjadi misi dan spiritualitas kami. Dalam konteks kami, kongregasi Hati Maria Tak Bernoda misalnya, itu misi ad extra, itu harus keluar dari negara sendiri, dari budaya, bahasa, keluarga dan lain sebagainya untuk pergi ke negara lain. Nah, itu menjadi sebuah keharusan bagi kami, karena itu menjadi bagian dari spiritualitas hidup membiara bagi kami sebagai CICM,” jelasnya.
Meskipun menghadapi tantangan, Romo Hendrik tetap berkomitmen pada pekerjaannya, dengan menyatakan, "Saya senang memenuhi tugas misionaris saya, meskipun tanggung jawabnya berat."
Dari Magelang ke Virginia
Penugasan dari tarekat sebagai pemenuhan kebutuhan akan rohaniwan Katolik secara global itu juga dialami oleh Romo Johanes (“John”) Teguh Raharjo, CICM, yang kini menjadi pastor Paroki Santa Anna di Arlington, Virginia, tidak jauh dari ibu kota AS Washington, DC. Rohaniwan dari Magelang, Jawa Tengah, dari tarekat CICM ini tiba di Amerika pada tahun 2002 sebagai frater dengan status mahasiswa, yang kemudian ditahbiskan sebagai imam pada tahun 2006 di dekat perbatasan AS-Meksiko di Texas.
Di daerah perbatasan dengan Meksiko itu pula dia diminta memulai pelayanan pastoralnya, terutama untuk migran asal Amerika tengah dan selatan di sekitar perbatasan Texas dengan Meksiko. Dia kemudian melayani di berbagai paroki di Keuskupan Agung San Antonio, Texas, dan Keuskupan Charlotte, North Carolina sebelum diminta melayani di ibu kota AS.
Sebelumnya, Romo John menempuh pendidikan filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta, dan baru dikirim ke AS sebagai frater (calon imam) untuk belajar teologi melalui Tarekat CICM.
“Saya dikirim ke sini oleh Tarekat CICM untuk belajar teologi. Jadi saya mengambil studi teologinya di San Antonio, Texas. Nah, setelah itu menjalani tahun pastoral, memang untuk penugasan di Amerika Serikat sini.”
Berdasarkan pengalaman Romo John, kehadiran para imam Indonesia di luar negeri juga memperkuat ikatan antara Global North dan Global South, menciptakan Gereja yang lebih saling terhubung dan beragam. Mereka sering melayani di paroki multikultural, membantu komunitas imigran sambil menjembatani kesenjangan antara jemaat lokal dan pendatang baru dari berbagai belahan dunia. Dengan melakukan itu, mereka tidak hanya melayani umat Katolik tetapi juga berkontribusi pada kehidupan sosial dan budaya komunitas yang mereka layani.
Fenomena para imam Katolik Indonesia yang melayani di luar negeri menandakan kelanjutan tradisi pelayanan gereja dan transformasi mendalam dalam arus panggilan religius global. Seiring dengan peran penting dalam gereja yang dimainkan oleh negara-negara dari Global South – terutama Indonesia – di Global North, arus balik ini menyoroti sifat Gereja Katolik yang universal, menyeluruh, umum, dan inklusif. Dan, seperti disitir oleh Romo Hendrik, “kami diperintahkan untuk pergi ad gentes – yaitu, pergi ke bangsa-bangsa, pergi ke negara-negara di mana kehadiran kami betul-betul dibutuhkan.” [lt/em]
Forum