Fenomena Citayam Fashion Week di Jakarta mengundang aksi serupa di sejumlah daerah di Indonesia, tidak terkecuali di Surabaya, Jawa Timur. Di Kota Pahlawan ini, aktivitas fesyen jalanan ini juga banyak dilakukan kalangan muda. Jalan Tunjungan menjadi salah satu tempat anak-anak muda ini beradu kostum yang mereka kenakan.
Sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Pinky Saptandari, mengatakan aksi menutup jalan untuk kepentingan mengekspresikan diri merupakan bagian dari upaya mencari ruang yang selama ini tidak disediakan atau sulit diakses anak-anak muda. Gerakan akar rumput ini, kata Pinky, ingin menunjukkan eksistensinya tidak hanya di duna nyata, tetapi juga di dunia maya. Perkembangan dunia digital, lanjutnya, menjadi salah satu yang mempengaruhi munculnya gerakan dari bawah di tengah hegemoni kelompok eksklusif yang menguasai panggung.
“Ini sebetulnya menjadi peluang buat siapa saja mengekspresikan dirinya, termasuk melalui fesyen. Nah, fesyen ini menjadi fenomena menarik karena awalnya fesyen ini kan ekslusif, milik kelas atas. Berkat dunia digital akhirnya bisa dijungkirbalikkan menjadi fenomena yang juga muncul di kelas bawah, bahwa mereka juga membutuhkan panggung untuk mewartakan kehadiran mereka,” papar Pinky.
Pinky juga menyoroti peran media sosial yang mulai menggeser keberadaan media arus utama yang dinilai mengalami kemerosotan peran di masyarakat. Kemunculan kelompok masyarakat bawah dalam panggung fesyen melalui media sosial, menegaskan bahwa media sosial merupakan sarana penyelesaian masalah di masyarakat
Pinky mengatakan, fenomena Citayam Fashion Week yang diikuti oleh anak muda di sejumlah daerah, merupakan upaya kelompok kelas bawah merebut ruang publik yang selama ini tidak pernah mereka dapatkan.
“Saya sih melihatnya dibalik ini adalah munculnya orang-orang kecil yang menyeruak, mencoba untuk merebut ruang yang tidak pernah mereka dapatkan, akhirnya mereka ciptakan sendiri walaupun juga ada hal-hal yang berkaitan dengan membuat kemacetan, kemudian mungkin juga sampahnya tidak diurusi,” katanya.
Warga Surabaya yang juga pemerhati budaya, Siti Nasyi’ah, mendorong pemerintah mewadahi kreativitas dan ekspresi anak-anak muda. Caranya dengan menyediakan tempat secara gratis pada fasilitas-fasilitas publik yang dimiliki. Saat ini Surabaya memiliki banyak ruang publik yang dapat dimanfaatkan untuk mewadahi aktivitas serta ekspresi warga, seperti Balai Pemuda, Alun-Alun, serta 300 lebih taman, 72 di antaranya merupakan taman aktif.
“Pemerintah harus mewadahi, dalam arti memberi tempat, di mana sih tempat yang bisa dipakai untuk itu yang gratis, ya Balai Pemuda atau Alun-Alun Surabaya. Alun-Alun Surabaya dijadikan tempat. misalkan fesyen tiap hari Sabtu Minggu ke-berapa, Ludruk minggu ke-berapa, musik akustik hari ke-berapa. Pemda wajib mewadahi, tapi juga mengarahkan dan mengedukasi agar tidak salah,” ujar Siti.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya, Muhammad Fikser, menegaskan pemerintah kota tidak melarang aktivias dan kreativitas yang dilakukan anak muda di ruang publik. Namun, aktivitas yang dilakukan hendaknya tidak mengganggu pengguna fasilitas publik yang lain. Menurut Fikser, ruang publik harus dimanfaatkan untuk semua kalangan tanpa terkecuali, bukan untuk satu kelompok saja.
Fikser memastikan, Pemerintah Kota Surabaya akan memfasilitasi pemanfaatan ruang publik untuk aktivitas dan kreativitas anak muda secara gratis, dengan menyiapkan acara-acara yang dapat diikuti semua warga.
“Pemerintah kota tidak melarang aktivitas dan kreativitas anak muda, tapi kemudian pemerintah kota akan memberikan ruang-ruang, seperti penggunaan Balai Pemuda untuk ekspresi anak-anak muda,” katanya.
“Untuk Jalan Tunjungan, itu bisa menggunakan pedestrian, jadi mereka bisa melakukan kreativitas di sepanjang pedestrian, yang mana tidak mengganggu aktivitas jalan umum, atau penyeberangan lewat zebra cross. Tapi tentunya dengan pakaian yang memiliki norma-norma,” tambah Fikser. [pr/ah]
Forum