Bagi Wildan Aulia Rizki Ramadhan, berjalan keliling kampus tempatnya kuliah, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menawarkan tantangan tersendiri. Di area yang tidak dia kenal baik, Wildan butuh pemandu. Mayoritas jalan setapak juga tidak memiliki blok pemandu yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi mahasiswa tuna netra seperti Wildan.
Namun, semua itu bisa diatasi dengan membiasakan diri. Yang lebih didambakan, ujar Wildan, adalah tambahan bahan kuliah yang ramah bagi mahasiswa difabel.
“Kalau problem, untuk saya sendiri biasanya lebih ke materi pembelajaran. Kan kalau untuk tunanetra, biasanya dari kecil itu dididik dengan braille. Untuk perkuliahan ini memang masih jarang buku-buku perkuliahan menggunakan braille. Sekarang teknologi sudah maju, banyak buku elektronik tetapi di UIN ini belum banyak disediakan,” papar Wildan yang sedang menempuh semester 11 di jurusan Pengembangan Masyarakat Islam.
Kondisi yang dihadapi Wildan tentu sudah sangat jauh berbeda dengan pengalaman Aria Indrawati. Ketika dia menempuh kuliah hukum di sebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah pada akhir tahun 80-an, belum muncul kesadaran tentang kesetaraan pendidikan bagi difabel.
Pengurus Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) ini menyebut, kampus dulu bersikap, para difabel harus mengurus diri mereka sendiri. Untuk membaca banyak buku, mereka mencari sukarelawan. Beberapa difabel tidak dapat menyelesaikan kuliah. Mereka bukannya tidak pandai, kata Aria, tetapi lebih karena negara yang tidak peduli. Hanya yang punya kegigihan luar biasa, yang bisa lulus sarjana.
“Bayangkan, Saya belajar di Fakultas Hukum, kan harus ada kitab undang-undang hukum pidana, kitab undang-undang hukum perdata, kitab undang-undang hukum dagang, yang super tebal dan tidak ada disediakan dalam format yang aksesibel untuk saya. Akhirnya saya harus bikin buku sendiri itu terjadi sejak saya mulai sekolah, bukan di perguruan tinggi sebetulnya,” kata Aria.
Aria menyampaikan itu di sela pelaksanaan Konferensi Internasional "Indoeduc4all" dan "Indonesia Conference on Disability Studies and Inclusive Education" di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Konferensi berlangsung 3-4 Desember 2019, menghadirkan akademisi dari sejumlah universitas di Eropa, Indonesia, Sekolah Luar Biasa (SLB), aktivis dan kelompok difabel.
Berjuang untuk Kesetaraan
Apa yang dihadapi tidak mengendirkan semangat Aria. Justru, kondisi itu menjadi pelecut perjuangan yang kemudian dia lakukan selama bertahun-tahun. Dalam beberapa konferensi, baik di Jepang maupun Afrika Selatan, sekitar tahun 2005-2006, dukungan komunitas internasional mengalir bagi Indonesia.
“Waktu itu kami ketemu di Cape Town, waktu konferensi. Ayo kita drive, kita akselerasi, kita gebrak higher education di Indonesia. Karena tidak boleh seperti itu. kampus itu tidak mengurus mahasiswanya, itu tidak boleh. Siapapun mahasiswanya harus diurus,” tambah Aria.
Sekitar tahun 2006, Aria membentuk pusat layanan bagi mahasiswa difabel di berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Belasan mahasiswa yang nyaris tidak bisa lulus, dibantu melalui pemanfaatan teknologi dalam mengakses sumber bacaan. Pusat layanan ini menjadi rintisan bagi apa yang kemudian disebut sebagai gerakan perguruan tinggi inklusif.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta termasuk perintis gerakan ini sejak 2007. Salah satu penggeraknya, adalah Ro’fah, dosen di Program Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga. Dia kini juga menjabat sebagai Presiden Indoeduc4all, sebuah program penguatan akses pendidikan tinggu untuk difabel di 6 universitas di Indonesia. Ke-6 universitas itu adalah UIN Sunan Kalijaga, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Surakarta, Universitas Lambung Mangkurat, UNESA Surabaya, dan Universitas Indonesia.
Indoeduc4all diinisiasi oleh tiga universitas dari Eropa, yaitu Universitas Alicante, Spanyol, Universitas Glasgow Caledonian, Skotlandia, dan Universitas Pirous, Yunani. Seluruh universitas dari Eropa dan Indonesia itu menjalankan program bersama, untuk memastikan peningkatan kualitas pendidikan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi. Salah satunya adalah mewajibkan adanya kantor pelayanan atau unit layanan disabilitas yang modern.
Lembaga Erasmus Plus, kata Ro’fah, mendukung program tersebut dengan menyediakan dana 30 ribu euro untuk setiap universitas, antara lain untuk membeli alat bantu.
“Di samping itu, tentu saja ada berbagai program atau training. Misalnya modul, membuat training untuk dosen. Apa sih yang harus dilakukan kalau punya mahasiswa difabel di kelas. Ada modul yang diciptakan dari program ini, disusun oleh teman-teman dari Unesa. Di situ isinya adalah semacam modul untuk memastikan pembelajaran yang inklusif untuk mahasiswa difabel,” kata Ro’fah.
Yang tidak kalah penting, tambah Ro’fah, adalah terbentuknya jaringan nasional perguruan tinggi untuk pendidikan inklusi.
“Kita sebut sebagai Konsorsium Perguruan Tinggi Inklusif. Jadi memastikan bahwa setelah proyek ini selesai, ada sustainabilitas yang dibangun dan tentu saja tujuannya tetap satu, bagaimana memastikan bahwa penyandang disabilitas di perguruan tinggi Indonesia itu tidak saja semakin diterima, tapi juga mendapat kualitas pendidikan yang bagus,” tambahnya.
Program ini akan memastikan setiap universitas memiliki aplikasi yang membantu mahasiswa difabel dalam perkuliahan. Komputer harus mudah beradaptasi, pemakaian program pembaca layar bagi mahasiswa tuna netra, program pengubah suara menjadi teks bagi mahasiswa tuna rungu, penyediaan kursi roda, skuter dan fasilitas pendukung lainnya. Universitas juga harus didorong untuk membangun fasilitas pendukung, misalnya ramp, blok pemandu, hingga toilet bagi difabel.
Indonesia Cukup Progresif
Carolina Madeleine dari Universitas Alicante, Spanyol menilai, secara umum ada hambatan budaya dalam akses pendidikan tinggi bagi kelompok difabel. Pada sisi yang lain, dia juga mengakui hambatan fasilitas fisik juga menyertai. Berbicara kepada VOA di sela seminar, Carolina mengatakan perhatian kepada dua hambatan itu harus diberikan.
Apa yang dimaksud sebagai hambatan budaya, kata Carolina adalah fakta bahwa dukungan masyarakat bagi siswa difabel masing kurang. Sebagai dampaknya, jumlah difabel yang mengakses pendidikan tinggi masih sangat kecil.
“Saya kira, itu adalah masalah yang umum dihadapi oleh banyak negara. Dan ada harapan agar undang-undang dari pemerintah hadir untuk mengubah kondisi itu. Pemerintah Indonesia telah sangat aktif, dengan adanya Undang-Undang yang disahkan pada 2016 dan keputusan (menteri) pada 2017 yang mewajibkan universitas untuk menyediakan unit pendukung bagi program ini,” ujar Carolina.
Kerja sama antaruniversitas ini juga fokus pada peningkatan kapasitas. Dikatakan Carolina, pelatihan softskill juga diberikan, seperti kepemimpinan, kepercayaan diri, dan komunikasi bagi mahasiswa difabel. Universitas di Indonesia, sebagai rekanan program, juga datang ke sekolah-sekolah menengah, untuk bertemu dengan siswa difabel. Para siswa itu harus memahami, bahwa terbuka kesempatan luas bagi mereka untuk mengakses pendidikan tinggi.
Salah satu prinsip yang diterapkan dalam pendidikan inklusif, adalah bahwa kurikulum yang diberikan sama bagi seluruh mahasiswa. Mahasiswa difabel harus mengerjakan tugas dengan bobot yang sama beratnya dengan mahasiswa lain. Bedanya, dalam beberapa kasus, dosen bisa memberikan tambahan waktu bagi mereka ketika mengerjakan tugas atau ujian.
Universitas Alicante, kata Carolina, memiliki pengalaman cukup dalam melayani mahasiswa difabel. Karena itulah, mereka ingin berbagi pengalaman itu. Indonesia dipilih karena berbagai pertimbangan, termasuk kuatnya gerakan pendidikan inklusif. Carolina juga puas, karena proyek ini kini sangat relevan dengan apa yang dikerjakan di tingkat pemerintah, dan sejalan dengan perkembangan yang ada di Indonesia. [ns/ab]