Tautan-tautan Akses

Efek Riak COVID-19 Masih Berdampak pada Universitas-universitas di AS


Gedung Fisher Fine Arts di kampus University of Pennsylvania di Philadelphia, Pennsylvania, AS, 25 September 2017. (Foto: REUTERS/Charles Mostoller)
Gedung Fisher Fine Arts di kampus University of Pennsylvania di Philadelphia, Pennsylvania, AS, 25 September 2017. (Foto: REUTERS/Charles Mostoller)

Setahun sudah berbagai universitas di Amerika menutup pintu dan beralih ke pembelajaran virtual akibat pandemi COVID-19. Namun efek riaknya masih terus berdampak pada pendidikan tinggi hingga kini.

Berbagai komunitas di seluruh Amerika bergelut dengan kasus-kasus virus corona yang tak terhitung jumlahnya sejak Maret lalu dan ratusan universitas terpaksa menutup kampus mereka. Keputusan penutupan kampus tersebut sangat mengganggu kehidupan, baik staf pengajar maupun para mahasiswanya.

“Saya terpaksa harus memutuskan, saya tidak tahu saya harus ke mana, benar-benar stres saya waktu itu," kata Tae Aydeji, mahasiswa internasional dari Nigeria

Mahasiswa, kebanyakan masih berusia dibawah 29 tahun adalah kelompok yang paling tidak rentan terhadap COVID-19, menurut Pusat Pengendalian Penyakit Amerika atau CDC. Namun para peneliti di Imperial College di London memperoleh temuan bahwa kelompok ini justru merupakan penyebar COVID-19 terbesar di dalam masyarakat dan merupakan ancaman terhadap penduduk yang punya sistem kekebalan yang lemah.

Tanpa sebuah strategi nasional, sehubungan penanggapan yang harus dilakukan sekolah, berbagai lembaga pendidikan mengambil pendekatan-pendekatan yang berbeda. Beberapa malah melakukan perubahan yang bersifat mendadak.

Seorang mahasiswa Universitas Negeri Dakota Utara (NDSU) yang mengenakan masker pelindung berjalan melewati gedung Teknik Selatan di kampus saat wabah COVID-19 berlanjut di Fargo, Dakota Utara, AS, 25 Oktober 2020. (Foto: REUTERS/Bing Guan)
Seorang mahasiswa Universitas Negeri Dakota Utara (NDSU) yang mengenakan masker pelindung berjalan melewati gedung Teknik Selatan di kampus saat wabah COVID-19 berlanjut di Fargo, Dakota Utara, AS, 25 Oktober 2020. (Foto: REUTERS/Bing Guan)

Ada misalnya yang pertama-tama menyuruh mahasiswanya pulang, lalu berubah pikiran, dan menyuruh mereka kembali lagi ke kampus, dan sesudahnya mengirim mereka pulang lagi.

"Jujur saja, itu kan cara yang coba-coba, dan sekolah jadi berubah-ubah kebijakannya," kata Frederick Lawrence, mantan rektor Brandeis University di Massachussetts.

Pada akhir semester musim semi, kebanyakan sekolah memberlakukan model pembelajaran online.

"Universitas yang tadinya punya kehadiran online secara terbatas kini mengubah diri menjadi lembaga pendidikan online, dan memindahkan ratusan, malahan ribuan kursus, menjadi pelajaran yang diberikan secara online," kata Frederik Lawrence.

Namun para mahasiswa mengeluh bahwa pembelajaran virtual hanya memberikan mereka pengalaman belajar yang mutunya kelas dua, dan sangat diganggu oleh isu-isu teknis, serta kurangnya dukungan dan sumber daya.

"Hal ini sangat membingungkan, bukankah saya membayar uang kuliah yang mahal padahal saya belajar sendiri di YouTube," kata Precious Adetayo-Oguntade, mahasiswa University of Maryland.

Pendaftaran untuk semester musim gugur jatuh, dan universitas-universitas banyak yang menyaksikan kerugian.

“Dari berbagai segi, ini memperlihatkan kurangnya kapasitas bagi penggalangan dana, menyelenggarakan acara-acara besar, menyelenggarakan pertandingan football, dan berbagai acara lainnya," kata Lynn Pasquerella, yang memimpin The Association of American Colleges and Universities.

Pada musim gugur, banyak universitas membuka kembali asrama dan sebagaian melanjutkan operasi di kampus, tetapi beberapa kemudian cepat-cepat terpaksa tutup lagi untuk kedua kalinya karena dihantam perebakan ulang virus corona.

Namun untuk beberapa mahasiswa yang kembali ke kampus, bisa tinggal di kampus adalah sesuatu yang mereka syukuri. Bagi Tae Ayodeji, belajar jarak jauh selama 10 bulan dari Nigeria sangat berat.

Mahasiswa New York University mengantri untuk tes COVID-19 sebelum kampus dibuka pada 18 Agustus 2020 di New York. (Foto: AFP/Bryan R. Smith)
Mahasiswa New York University mengantri untuk tes COVID-19 sebelum kampus dibuka pada 18 Agustus 2020 di New York. (Foto: AFP/Bryan R. Smith)

"Sangat berat dengan perbedaan waktu. Selain itu di Nigeria mutu Wi-Finya tidak sebagus disini dan juga berbagai isu teknis muncul," katanya.

Di kampus-kampus yang berhasil untuk tetap bertahan, menghindari COVID-19 merupakan bagian dari kehidupan para mahasiswanya.

"Sekarang bulan Maret, saya punya masker seember di asrama saya, hand sanitizer, di sekolah kami dites dua kali seminggu, dan kami harus mengisi formulir pemantauan COVID. Jadi saya sudah terbiasa dengan langkah-langkah seperti itu," kata Precious Adetoya-Oguntade, mahasiswa Universitas Maryland

Dengan tersedianya vaksin dan kasus COVID-19 semakin berkurang di Amerika, pakar meramalkan jadwal perkuliahan pada semester musim gugur yang akan datang akan kembali normal. Ini berita baik untuk para mahasiswa yang mengatakan, virus ini telah menyebabkan mereka kehilangan meraih pengalaman di kampus.

“Gagasan bisa tinggal di kampus, punya hubungan baik dengan para profesor, perasaan jadi bagian dari masyarakat kampus, itu kan sangat berbeda dari apa yang ditawarkan sekolah di Kolombia. Tetapi sekarang sepertinya tidak ada bedanya," kata Isabela Linares, mahasiswa dari Kolombia.

Namun ada satu kabar baik bagi mahasiswa baru tahun pelajaran ini, sejumlah universitas tidak lagi mewajibkan persyaratan tes standar, sehingga satu hambatan untuk menikmati kuliah sudah disisihkan. [ew/jm]

XS
SM
MD
LG