Lembaga-lembaga internasional meminta kepada angkatan-angkatan laut Asia Tenggara untuk menyelamatkan 10.000 migran dari Myanmar dan Bangladesh yang terdampar di lautan dan terombang-ambing nasibnya.
Dalam beberapa hari terakhir, sekitar 2.000 manusia perahu dari dua negara telah diselamatkan di Malaysia dan Indonesia.
Namun sejumlah penyelundup manusia dan para awaknya dilaporkan telah mengabaikan kapal mereka setelah pemerintah Thailand menggerebek tempat persembunyian mereka, yang sebagian terletak di perkebunan karet di sebelah selatan negara ini. Kini para pengamat mengatakan para awak menolak atau tidak mampu untuk mengantarkan para penumpang ke Malaysia dan Indonesia, menempatkan mereka dalam keadaan bahaya.
Organisasi Migrasi Internasional (IOM) menginginkan pemerintah negara-negara Asia Tenggara mencari dan menyelamatkan mereka yang terdampar di samudera.
"Jika tidak ada upaya SAR segera dan terpadu akibat kekhawatiran politik regional bahwa para migran dan individu ini yang diselundupkan menginginkan status pengungsi dan perlindungan, tak pelak lagi kita akan melihat jatuhnya korban dalam jumlah besar," ujar David Hammon, pendiri kelompok Human Rights at Sea.
Di Thailand, pemerintah mengumumkan akan menyelenggarakan pertemuan regional bulan ini dengan mengundang para pejabat dari 15 negara untuk membahas respon terpadu terhadap arus migrasi menyeberangi Teluk Benggala dalam tingkatan "yang belum pernah terlihat sebelumnya."
Sebelumnya pada hari Selasa, Angkatan Laut RI mengatakan mereka telah mengirim sebuah kapal ke lokasi, menyatakan 500 migran selamat, dalam keadaan baik dan tidak berkenan untuk menepi di Indoensia.
"Pendekatan semacam ini menanamkan benih bencana dalam respon terhadap armada Rohingya yang kini harus ditemukan dan dibantu," kata Phil Robertson, wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch.
Rohingya melarikan diri dari penganiayaan Myanmar
Diperkirakan sekitar separuh dari mereka yang terdampar di lautan saat ini adalah warga Muslim Rohingya, korban kekerasan antar golongan dan diskriminasi di Myanmar dan dianggap sebagai migran ilegal di negara-negara lain jika mereka cukup beruntung untuk selamat dari perjalanan di lautan yang berbahaya.
"Mereka berdesak-desakan di kapal. Kotoran manusia masuk ke air mereka. Mereka tidak bisa ke kamar kecil. Jika mereka bertingkah, mereka dapat dilempar ke laut kapan saja dan pastinya akan dipukuli," ujar Jeffrey Labovitz dari IOM.
Seorang migran dari Myanmar, Muhammad Husin, yang mencapai daratan pekan ini di Aceh, mengatakan kepada reporter, kelompoknya dalam sebuah kapal kecil mencapai perairan Thailand setelah dua bulan.
"Kami ditangkap dan ditahan di kapal selama 20 hari yang saya yakin adalah milik angkatan laut Thailand," ujar Husin. "Walaupun kami meminta makanan dan air, mereka hanya membawa sangat sedikit. Jika kami meminta tambahan air, mereka memukul kami. Kami meminta untuk pergi ke Malaysia, tapi mereka menolak."
Robinson dari HRW mengatakan kaum Rohingya "tidak punya banyak teman kecuali mereka yang ingin mengeksploitasi dan memeras mereka. Dan, sayangnya, semakin banyak cerita muncul mengenai kolusi oleh para pejabat dengan para penyelundup manusia yang menganiaya orang-orang ini."
Robinson mengatakan ini "menimbulkan banyak pertanyaan mendasar mengenai komitmen negara-negara ini dalam memberantas perdagangan manusia."
Thailand berjanji menindak keras para penyelundup
Setelah ditemukannya kuburan massal bulan ini di "kamp-kamp budak" di kawasan hutan di sebelah selatan Thailand, dewan militer di Bangkok telah berjanji untuk dengan cepat memberantas jaringan perdagangan manusia di negara ini. Sejauh ini telah ada 50 orang yang ditahan dalam kaitannya dengan kasus ini di Thailand.
Pemimpin dewan, mantan kepala angkatan bersenjata Prayuth Chan-ocha, menuding "kejahatan internasional" sebagai biang perdagangan manusia yang menggunakan Thailand sebagai titik transit antara negara-negara tujuan (Myanmar dan Bangladesh) dan negara tujuan (Malaysia).
"Kita butuh organisasi-organisasi internasional untuk membantu memecahkan masalah ini," ujar Prayuth dalam konferensi pers Selasa, di mana ia mengakui pihak berwenang Thailand belum efektif dalam menangani isu ini.
Kaum Rohingya membayar para penyelundup untuk membawa mereka ke Malaysia, yang pada umumnya bersifat terbuka terhadap para pengungsi gelap, tapi kebanyakan migran diminta untuk membayar biaya tambahan saat ditahan di Thailand.
"Ini sudah bukan rahasia lagi," kata Robinson dari Human Rights Watch. "Ini paket yang disodorkan kepada mereka selama beberapa tahun terakhir. Masalahnya, tentu, korupsi seperti ini akan mengorbankan mereka yang paling miskin, paling terdesak di wilayah Asia Tenggara."
Migrasi meningkat tajam pada 2015
Total 25.000 orang diyakini telah menumpang kapal dari Bangladesh dan Myanmar dalam tiga bulan pertama 2015, dua kali lipat jumlah pada periode yang sama tahun lalu.
Jumlah pasti mereka yang masih terdampar di laut belum diketahui. Kebanyakan lembaga PBB dan non-pemerintah mengandalkan informasi yang dikumpulkan oleh kelompok advokasi bagi Rohingya, The Arakan Project.
"Saya tertarik untuk melihat berapa orang lagi yang akan mulai menepi," ujar pendiri The Arakan Project, Chris Lewa kepada VOA.
Dari mereka yang selamat dari perjalanan berbahaya di lautan atau dalam transit di hutan, sebagian besar tiba di lokasi dalam keadaan fisik yang mengenaskan.
Empat puluh persen kekurangan gizi, sekitar 2-4 persen mengalami kekurangan pangan yang parah dan 1,8 persen menderita beriberi, kondisi kekurangan vitamin B-1, menurut IOM.
Labovitz mengatakan kondisi ini mengingatkannya pada kondisi mereka yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi Auschwitz pada Perang Dunia Kedua.