Michael Mitchell dan Dave Stahl adalah pemain sepak bola pada tim Universitas Negeri Chico di California Utara. Stahl mengatakan, ketika Mitchell bergabung dengan US Peace Corps setelah lulus, dan ditugaskan bekerja di Niger, Afrika Barat, Mitchell membawa bola-bola sepak ke Niger.
“Sepak bola dikenal di seluruh dunia. Orang main sepak bola di mana-mana dan mereka senang bermain sepak bola. Sepak bola menyatukan masyarakat,” papar Stahl.
Setelah selesai bertugas dua tahun, Mitchell kembali ke kampusnya mengambil program pasca-sarjana jurusan olah raga. Tesisnya, yang dibantu penyusunannya oleh Stahl, berjudul “Project Play Africa,” membahas sepak bola, yang menurutnya bisa memperbaiki kehidupan anak-anak Afrika.
Dibutuhkan waktu 15 tahun bagi kedua orang itu untuk mewujudkan tesis itu menjadi kenyataan. Namun, akhirnya, dengan sumbangan awal sebesar 30.000 dolar, mereka memesan 2.000 bola sepak dari Tiongkok. Stahl mengatakan itu adalah bagian termudah proyeknya.
“Sangat sulit mengirim bola-bola itu ke Niger, karena tidak banyak perdagangan ke negara itu, dan biaya pengirimannya mahal. Kita harus membayar pajak impor dan harus tahu ke mana bola-bola itu dikirim, kapan sampainya, dan sebagainya,” papar Stahl lagi.
Setelah berhasil menyelesaikan berbagai urusan itu, Stahl dan Mitchell pergi ke Niger, menyewa mobil dan menuju wilayah pedesaan, menyerahkan bola-bola beserta pompanya ke desa-desa dan sekolah-sekolah.
Stahl ingat salah satu persinggahan khusus, dan menuturkan, “Kami sedang berkendaraan melewati desa kecil ini, dan melihat sekitar sepuluh anak main bola terbuat dari kaos kaki yang diisi dengan pasir. Jadi, kami berhenti dan keluar mobil. Mereka gembira sekali. Kami mulai menendang-nendang bola itu dengan anak-anak itu. Kebetulan ada penerjemah sehingga kami bisa berkomunikasi. ‘Kami akan memberi kalian bola sepak ini.’ Ketika bola itu diterima salah seorang anak, semua anak melonjak dan berteriak kegirangan. Kami memfilmkan saat-saat itu.”
Tahun 2010, dengan bantuan Peace Corps, para sukarelawan Project Play Africa pergi ke Benin, namun dalam perjalanan itu, mereka sadar upaya mereka tidak bisa diukur, ditelusuri atau berkelanjutan. Jadi, tahun 2011, mereka kembali ke Niger, memutuskan untuk hanya memusatkan perhatian pada Libore, masyarakat pedesaan kecil di pinggiran ibukota Niamy. Kali ini, Project Play Africa pergi dengan rencana untuk mendirikan liga sepak bola. Tujuan mereka adalah melibatkan klub-klub lokal dan sekolah dalam upaya menciptakan susunan organisasi yang kuat.
Ketika para sukarelawan Project Play Africa kembali ke Libore tahun ini, Stahl mengatakan sangat kagum melihat apa yang telah dicapai dengan peralatan dan informasi yang pernah mereka berikan di sana.
“Sepak bola itu melibatkan anak lelaki dan perempuan, yang sangat tidak lazim bagi sebuah negara Muslim di mana orang tua membolehkan anak perempuan ikut dalam sebuah kegiatan seperti itu. Kami mendapat dukungan dari para pemimpin suku dan politik Libore. Kami melihat program itu menimbulkan rasa bangga di desa dan sekolah itu,” ujarnya dengan kagum.
Bagi Stahl sorotan utama perjalanannya adalah mengamati kejuaraan sepak bola putra dan putri.
Dave Stahl mengatakan kesulitan terbesar Project Play Africa adalah mendapatkan bola sepak yang murah dan mudah dikirim dan tidak cepat rusak untuk ditendang-tendang di lapangan sepak bola Niger yang berbatu. Jika mereka berhasil menemukan bola yang tepat, ujar Stahl, Project Play Africa berniat membawa bola sepak ke seluruh wilayah Afrika Barat.
“Sepak bola dikenal di seluruh dunia. Orang main sepak bola di mana-mana dan mereka senang bermain sepak bola. Sepak bola menyatukan masyarakat,” papar Stahl.
Setelah selesai bertugas dua tahun, Mitchell kembali ke kampusnya mengambil program pasca-sarjana jurusan olah raga. Tesisnya, yang dibantu penyusunannya oleh Stahl, berjudul “Project Play Africa,” membahas sepak bola, yang menurutnya bisa memperbaiki kehidupan anak-anak Afrika.
Dibutuhkan waktu 15 tahun bagi kedua orang itu untuk mewujudkan tesis itu menjadi kenyataan. Namun, akhirnya, dengan sumbangan awal sebesar 30.000 dolar, mereka memesan 2.000 bola sepak dari Tiongkok. Stahl mengatakan itu adalah bagian termudah proyeknya.
“Sangat sulit mengirim bola-bola itu ke Niger, karena tidak banyak perdagangan ke negara itu, dan biaya pengirimannya mahal. Kita harus membayar pajak impor dan harus tahu ke mana bola-bola itu dikirim, kapan sampainya, dan sebagainya,” papar Stahl lagi.
Setelah berhasil menyelesaikan berbagai urusan itu, Stahl dan Mitchell pergi ke Niger, menyewa mobil dan menuju wilayah pedesaan, menyerahkan bola-bola beserta pompanya ke desa-desa dan sekolah-sekolah.
Stahl ingat salah satu persinggahan khusus, dan menuturkan, “Kami sedang berkendaraan melewati desa kecil ini, dan melihat sekitar sepuluh anak main bola terbuat dari kaos kaki yang diisi dengan pasir. Jadi, kami berhenti dan keluar mobil. Mereka gembira sekali. Kami mulai menendang-nendang bola itu dengan anak-anak itu. Kebetulan ada penerjemah sehingga kami bisa berkomunikasi. ‘Kami akan memberi kalian bola sepak ini.’ Ketika bola itu diterima salah seorang anak, semua anak melonjak dan berteriak kegirangan. Kami memfilmkan saat-saat itu.”
Tahun 2010, dengan bantuan Peace Corps, para sukarelawan Project Play Africa pergi ke Benin, namun dalam perjalanan itu, mereka sadar upaya mereka tidak bisa diukur, ditelusuri atau berkelanjutan. Jadi, tahun 2011, mereka kembali ke Niger, memutuskan untuk hanya memusatkan perhatian pada Libore, masyarakat pedesaan kecil di pinggiran ibukota Niamy. Kali ini, Project Play Africa pergi dengan rencana untuk mendirikan liga sepak bola. Tujuan mereka adalah melibatkan klub-klub lokal dan sekolah dalam upaya menciptakan susunan organisasi yang kuat.
Ketika para sukarelawan Project Play Africa kembali ke Libore tahun ini, Stahl mengatakan sangat kagum melihat apa yang telah dicapai dengan peralatan dan informasi yang pernah mereka berikan di sana.
“Sepak bola itu melibatkan anak lelaki dan perempuan, yang sangat tidak lazim bagi sebuah negara Muslim di mana orang tua membolehkan anak perempuan ikut dalam sebuah kegiatan seperti itu. Kami mendapat dukungan dari para pemimpin suku dan politik Libore. Kami melihat program itu menimbulkan rasa bangga di desa dan sekolah itu,” ujarnya dengan kagum.
Bagi Stahl sorotan utama perjalanannya adalah mengamati kejuaraan sepak bola putra dan putri.
Dave Stahl mengatakan kesulitan terbesar Project Play Africa adalah mendapatkan bola sepak yang murah dan mudah dikirim dan tidak cepat rusak untuk ditendang-tendang di lapangan sepak bola Niger yang berbatu. Jika mereka berhasil menemukan bola yang tepat, ujar Stahl, Project Play Africa berniat membawa bola sepak ke seluruh wilayah Afrika Barat.