Tautan-tautan Akses

Dua Peneliti Ungkap Nuansa Sejarah Indonesia


Duplikat Mesin Tik Proklamasi Pinjaman Konsulat Militer Jerman, di Museum Proklamasi. (Courtesy: Hendi Jo)
Duplikat Mesin Tik Proklamasi Pinjaman Konsulat Militer Jerman, di Museum Proklamasi. (Courtesy: Hendi Jo)

Dua peneliti muda menemukan fakta-fakta unik terkait sejarah Indonesia. Di antaranya adalah peran mesin tik Jerman dalam proklamasi kemerdekaan.

Banyak aspek dalam sejarah sebuah negara yang tidak terungkap dan terlupakan. Itu pula yang terjadi pada Indonesia. VOA mewawancarai dua sejarawan muda yang mengulik fakta-fakta menarik dalam sejarah Indonesia yang jarang diketahui. Mereka adalah Hendi Jo dan Petrik Matanasi.

Hendi Jo mengungkapkan, “Kita jarang mengangkat informasi bahwa peran orang Jerman di Indonesia sebetulnya sangat signifikan. Ada keterkaitan kita dengan era Hitler pada saat itu. Cuma, karena ada banyak hal yang harus dikembangkan oleh sejarah kita, hal itu terlupakan.”

Dua Peneliti Ungkap Nuansa-Nuansa Sejarah Indonesia
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:05:26 0:00

Lalu, mengapa tentara Jerman ada di Indonesia?

“Itu tentu saja terkait dengan Perang Dunia II. Pihak sekutu bermusuhan dengan Jerman, Italia, Jepang. Di Indonesia, sebagai bagian dari Asia, orang hanya tahu bahwa Jepang yang menguasai Asia, tetapi mereka tidak pernah tahu (bahwa) pada tahun 1942 sampai tahun 1945 orang-orang Jerman, pemerintah Hitler, itu mengirim 42 kapal selamnya ke wilayah Asia, terutama wilayah Nusantara, untuk membantu Jepang menghadapi kapal-kapal selam sekutu yang waktu itu banyak beredar di Laut Cina Selatan, Samudra Indonesia dan di sekitar Pasifik juga. Ke-42 kapal selam ini memiliki pangkalan di kota-kota besar Indonesia. Yang saya tahu, pangkalan itu ada di Padang, Surabaya tentu saja, dan Tanjung Priok,” jelasnya.

Awak kapal selam Jerman saat berlabuh di Indonesia di era Perang Dunia II, 1942-1945. (Courtesy: Herwig Zahorka)
Para awak kapal selam U-219 milik AL Jerman saat berisrirahat di Cikopo, Indonesia pada era Perang Dunia II, 1942-1945. (Courtesy: Herwig Zahorka)

Hendi menambahkan makna penting dari kehadiran Jerman di Indonesia. Negara itu, kata Hendi, menyumbangkan sesuatu yang unik menjelang Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Ketika hendak menyusun naskah proklamasi, para pemuda dan calon proklamator memerlukan sebuah mesin tik. Tidak banyak orang tahu bahwa mesin tik itu dipinjamkan oleh konsul militer Jerman yang ada di Jakarta, yaitu Mayor Laut Dr. Herman Kandeler.

Hendi Jo, Sejarawan (Courtesy: pribadi)
Hendi Jo, Sejarawan (Courtesy: pribadi)

“Saat itu mereka mau menggunakan mesin tik Jepang tetapi mesin tik Jepang huruf kanji semua ya. Jadi, mereka kemudian mencari mesin tik yang huruf latin. Satu-satunya mesin tik yang ada huruf latin itu adanya di Konsulat Militer Jerman yang sekarang posisinya ada di pasar Senen, yang sekarang menjadi markas armada barat Angkatan Laut, nah adanya di situ. Akhirnya ditemani seorang penerjemah dan perwira Jepang, para pemuda meminjam mesin tik ke Konsulat Jerman itu,” imbuhnya.

Mesin tik tersebut menjadi salah satu sumbangan Jerman bagi proklamasi Indonesia. Kini, duplikat mesin tik tersebut dipajang di Museum Proklamasi.

Sedangkan Petrik Matanasi mematahkan persepsi umum bahwa orang dari suku Ambon paling gigih membela kolonialisme Belanda di Indonesia. “Persepsi itu tidak benar,” cetus Petrik.

“Orang mengira yang jadi tentara Hindia Belanda atau KNIL kan orang Ambon gitu. Tetapi sebenarnya yang paling banyak jadi serdadu tentara Hindia Belanda adalah orang Jawa. Itu berdasar hasil riset saya ya,” imbuhnya.

Petrik Matanasi, Sejarawan (Courtesy: pribadi)
Petrik Matanasi, Sejarawan (Courtesy: pribadi)

Salah satu subjek peneitian Petrik adalah peserta kursus pendidikan calon perwira militer Hindia Belanda di Sekolah Militer Jatinegara.

“Nah, itu anehnya! Tidak ada satupun calon perwira Ambon. Yang ada adalah dua calon perwira dari Minahasa yaitu Benjamin Tomas Walangitan, lalu Alex Herman Kawilarang. Dan selain dua orang Manado ini, ada juga orang-orang Jawa. Jumlahnya lebih banyak. Salah satunya Urip Sumoharjo. Lalu ada Wardiman, Sugondo, Sunjoyo, lalu ada, o ya, Sumarno,” jelas Petrik.

Paling tidak, kata Petrik, ada 13 orang Indonesia dididik di sana. Dan tidak satupun dari mereka yang orang Ambon. Hanya dua orang Minahasa. Sedangkan 11 lainnya “orang Jawa dengan gelar Raden pada umumnya,” ujar Petrik.

Temuan sejarah seperti ini, menurut kedua sejarawan, bermanfaat untuk memahami nuansa-nuansa sejarah dan meluruskan persepsi yang tidak tepat mengenai perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tetapi, baik Hendi maupun Petrik mengingatkan agar riset sejarah selalu memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah seperti metodologi yang teliti, analisis yang kritis terhadap kisah sejarah, dan berperilaku transparan.
[jm/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG