Dua profesor asal Indonesia di dua universitas ternama AS mengembangkan program realitas maya atau VR yang dapat digunakan untuk mengajar mahasiswa kedokteran gigi. Metode ini bisa menjadi alternatif pembelajaran di tengah pembatasan sosial akibat pandemi virus corona.
Dengan perangkat oculus yang dipasang di kepala dan telapak tangan, mahasiswa kedokteran gigi memasuki sebuah klinik virtual tiga dimensi. Dalam “klinik” tersebut, mahasiswa bisa menggunakan peralatan virtual seperti pisau bedah dan bor dan melakukan simulasi pemasangan implan gigi pada seorang pasien virtual.
Simulasi seperti ini sangat penting bagi para calon dokter gigi, kata Cortino Sukotjo, dosen yang sudah 11 tahun mengajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Illinois di Chicago (UIC).
“Dalam pendidikan medis ada simulasi praktik. Mereka (mahasiswa) harus latihan berulang kali, sampai mencapai kompetensi yang kita mau,” jelas lulusan Universitas Padjajaran Bandung ini kepada VOA.
Cortino mengembangkan program VR itu bersama Markus Santoso, seorang pakar teknologi imersif di Universitas Florida (UFL) di Gainesville. Berawal dari perkenalan dalam sebuah acara di Indonesia pada akhir 2019, keduanya sepakat untuk mengembangkan program yang berguna untuk pendidikan kedokteran gigi.
“Keterampilan dan keahlian kita saling melengkapi. Beliau kuat di kedokteran gigi, saya kuatnya di AR/VR,” kata lulusan Universitas Petra Kristen Surabaya ini kepada VOA. AR/VR merujuk pada augmented reality (realitas berimbuh) dan virtual reality (realitas virtual), bagian dari teknologi imersif yang kini semakin banyak digunakan dalam bidang kedokteran.
Namun, aplikasi AR/VR dalam bidang pendidikan kedokteran gigi masih terbatas, kata Cortino. “Ada beberapa (universitas) yang sudah aplikasikan, tapi mereka beli programnya dari luar. Kalau kita termasuk salah satu yang pertama yang membuat sendiri.”
Libatkan Mahasiswa
Proses mulai dari mematangkan ide hingga menjadi sebuah prototipe, memakan waktu beberapa bulan sepanjang 2020, dan melibatkan puluhan mahasiswa UIC dan UFL.
“Jadi masalah real-world nya dari beliau, saya bawa ke kelas saya, kelas kita mikir, dibawa lagi ke beliau, beliau tes, riset dan seterusnya,” kata Markus, yang sejak 2018 mengajar di jurusan Digital Worlds Institute UFL.
Prototipe yang dikembangkan oleh Markus dan para mahasiswanya, kemudian diujicoba oleh Cortino dan beberapa mahasiswanya, termasuk Stephanie Schreiber.
“Sebagai mahasiswi, program simulasi implan membantu saya mempelajari urutan pemasangan implan gigi dengan seolah-olah berada di dalam klinik betulan sebagai dokter gigi,” kata perempuan yang baru saja lulus tahun ini.
Cortino menambahkan, “Mereka (fakultas) percaya ini bisa digunakan untuk meningkatkan pendidikan kedokteran gigi. Walaupun mereka juga percaya ini hanya berlaku sebagai tambahan aja. Mereka tetap percaya bahwa temu muka itu harus,” ujar pemilik gelar PhD dari Universitas California Los Angeles ini.
Alternatif di Tengah Pandemi
Meski tak bisa menggantikan efektivitas pembelajaran tatap muka sepenuhnya, tapi para dosen ini menggarisbawahi potensi AR/VR dalam pendidikan kedokteran gigi, apalagi di tengah pandemi virus corona dan pembatasan sosial.
Markus, yang meraih gelar PhD dari Universitas Dongseo Korea Selatan mengatakan, “Waktu Covid, lockdown, semua mahasiswa ngga bisa ke lab, juga ngga bisa bawa peralatan ke rumah, karena besar-besar dan mahal-mahal.”
“Dengan metode ini mereka bisa belajar sendiri di rumah, tidak ada batasan waktu dan tempat,” tambah Cortino, yang pernah mengajar beberapa tahun di Universitas Harvard.
Hasil riset mereka yang berjudul “Faculty perceptions of virtual reality as an alternative solution for preclinical skills during the pandemic,” telah dirilis dalam Journal of Dental Education pada November 2020.
Mereka juga telah mempresentasikannya dalam beberapa seminar di AS, termasuk yang diadakan oleh American Dental Education Association (ADEA).
Selain simulasi implan gigi, kedua akademisi ini juga telah mengembangkan eTypodont, sebuah perangkat AR untuk melakukan simulasi implan gigi. Kini mereka juga sedang mengembangkan beberapa program social VR, yang memungkinkan pengajar dan mahasiswa berinteraksi di sebuah klinik virtual yang sama, serta simulasi dialog dengan pasien.
Cortino mengatakan perlu waktu 3-5 tahun untuk menyempurnakan prototipe-prototipe ini. Mereka berharap upaya-upaya ini bisa merevolusi pendidikan kedokteran gigi di masa depan. “Saya optimis lihat ini akan jadi mainstream,” pungkas Markus. [vm/em]