Data terbaru dari lembaga federal independen, National Science Foundation di Amerika Serikat menyebutkan, dibanding laki-laki, representasi perempuan di bidang sains dan teknik masih tergolong kurang.
Data tersebut juga menyebutkan, bahwa separuh dari tenaga kerja lulusan perguruan tinggi di Amerika adalah perempuan. Namun, hanya 28 persen yang bekerja di bidang sains dan teknik.
Dobrak Stereotipe Gender di Dunia Sains
Dengan tekad ingin mematahkan stereotipe gender di dunia sains dan STEM (Sains, Teknologi, Engineering atau Teknik, Matematika) yang masih didominasi oleh laki-laki, ahli kimia asal Indonesia di Amerika, Diandra Soemardi berusaha meyakinkan generasi mendatang, bahwa selalu ada tempat bagi perempuan di dunia yang ia tekuni saat ini.
“Waktu kecil mungkin, dan orang-orang sekarang (yang) dewasa juga masih mikir adalah saintis itu pasti ya bapak-bapak, udah tua, biasanya bule. Terus, kalau misalnya mau kartun banget ya, ngomong sendiri, terus bikin reaksi apa, meledak-meledak, terus enggak punya temen, terus kuper kesannya tuh kayak jelek banget gitu stereotype-nya,” cerita Diandra Someardi saat dihubungi oleh VOA.
Minat Diandra akan dunia sains sudah tertanam sejak masih duduk di bangku SMP. Semuanya berawal ketika salah seorang gurunya bercerita mengenai wabah SARS yang tengah merebak dan belum ada obatnya.
“Jadi waktu aku dengar itu kayak, ‘wow, perlu usaha dan orang buat kerjain hal seperti ini. Jadi menurut aku, itu (adalah) suatu kesempatan dan membuat aku tertarik untuk jadi researcher dari SMP, pengin kerja di lab, pengin cari obat,” papar Diandra.
Awalnya, cita-cita Diandra untuk menjadi saintis, sempat dipertanyakan oleh keluarganya. Menurutnya, dukungan terhadap perempuan yang ingin terjun ke dunia sains atau STEM (Sains, Teknologi, Engineering atau Teknik, dan Matematika) masih kurang.
“Ngapain jadi saintis? Enggak jadi penulis aja atau gimana?” katanya.
“Kalau misal minat di sains waktu kecil, tapi rasanya kayak enggak didukung gitu sama sekitarannya. ‘Kamu ngapain sih? Perempuan tuh seharusnya jadi A-B-C aja. Enggak usah di (laboratorium), enggak usah jadi saintis, nggak usah sekolah tinggi-tinggi,” tambah perempuan yang hobi menari, main piano, dan menulis ini.
Namun, dengan semangat dan kegigihannya, Diandra pun tidak putus asa dalam mengejar cita-cita. Mengingat keluarganya tidak tahu menahu secara mendalam akan dunia ini, para gurunyalah yang kemudian menjadi panutan dan inspirasinya.
“Enggak cuman ngajar, tapi juga cerita tentang teknologi dan sains itu sekarang lagi dimana. Jadi cerita tentang stem cell, bio teknologi, gene therapy, nano teknologi, dan semuanya itu adalah, menurut aku, dunia yang aku pengin banget belajar dan terjun ke arah situ. Menurut aku keren banget,” ujarnya.
Akhirnya Diandra memutuskan untuk mengambil jurusan kimia dan creative writing di Knox College di Gallesburg, Illinois di Amerika Serikat, dimana ia juga sempat bekerja di laboratorium salah seorang dosen pembimbingnya yang fokus kepada green chemistry atau kimia hijau (berkelanjutan), dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Ia pun lulus dengan predikat Cum Laude dan dua penghargaan atas prestasinya di bidang sains.
Dari S1 Lompat ke S3
Lulus S1, Diandra bertekad untuk terjun lebih dalam lagi ke bidang kimia. Ia pun langsung lompat ke program S3, suatu hal yang sudah lazim dilakukan, khususnya bagi yang menekuni jurusan kimia di Amerika Serikat.
“Jadi kalau misalnya minat bidang riset atau lanjut karir akademia, biasanya dari S1 bisa langsung S3, jadi nggak pakai S2,” jelas mahasiswa yang aktif sebagai wakil presiden PERMIAS (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di AS) ini.
Kini di usianya yang baru 25 tahun, Diandra sudah menjadi kandidat Ph.D., jurusan kimia, di University of Maryland, di College Park, Maryland. Selain dipercaya menjadi asisten dosen sekaligus pengajar mahasiswa S1, Diandra juga menjadi satu-satunya peneliti perempuan, di salah satu laboratorium kampusnya.
Sama halnya di kampus, Diandra mengatakan, jurusan ini masih didominasi oleh laki-laki, baik dari para dosen dan juga mahasiswanya.
“Enggak tau kenapa. Sebenarnya, kimia sendiri enggak membedakan ya. Bahan-bahan kimia aku, sama eksperimen aku, enggak peduli aku perempuan atau laki-laki,” kata Diandra.
“Perempuan itu memang harus bisa lebih berani untuk muncul. Enggak ke-expose biasanya. Juga kurang kedengaran, gitu. Karena, memang ini bidangnya lumayan laki, dan chemist-chemist terkenal yang saya belajar di kelas-kelas, semuanya laki-laki. Satu-dua doang yang terkenal, yang perempuan," tambahnya.
Peneliti Perempuan Satu-satunya
Sebagai peneliti perempuan satu-satunya yang bekerja di salah satu laboratorium tidak pernah menjadi masalah bagi Diandra, khususnya dalam berinteraksi.
“Alhamdulillah, memang aku nyari environment yang lumayan sehat. Tapi ada beberapa kali yang bilang perempuan sebenernya enggak pantas di lab gitu, soalnya nanti laki-laki banyak yang naksir,” katanya sambil tertawa.
“Enggak ada hubungannya kan? Jadi ini salah siapa?, Kita berhak juga di sini. Aku bilangnya ini bahan-bahan kimia kita yang kita kerjain, enggak peduli kita perempuan atau laki,” tegas perempuan yang juga menjabat sebagai Koordinator Bidang Pengumpulan Data & Penjangkauan Anggota Satgas COVID PERMIAS Nasional ini.
Bercita-cita Ingin Pakai Jas Putih
Semangat dalam mendukung perempuan untuk terjun ke dunia sains dan STEM juga terus digaungkan oleh Befrika Murdianti, yang kini menjabat sebagai professor bidang kimia di bawah departemen ilmu alam dan matematika di University of the Ozarks, di Arkansas, Amerika Serikat.
Tak pernah terpikir olehnya, bahwa ia akan terjun ke bidang kimia hingga sedalam ini. Semua ini berawal dari keinginannya untuk bisa memakai jas putih ketika bekerja di kemudian hari nanti.
“Waktu cari-cari persiapan untuk UMPTN, sebetulnya sih waktu itu enggak pengin masuk jurusan kimia. Tapi penginnya punya karir yang nanti setelah lulus, cuman pengin satu sebetulnya, cuman pengen pake jas putih,” kenang Befrika Murdianti sambil bercanda saat dihubungi oleh VOA.
Waktu itu Befrika sempat ingin mengambil jurusan kedokteran. Namun, sayangnya jurusan tersebut tidak ada di Institut Teknologi Bandung, kampus yang ia incar.
Tahun pertama kuliah, Befrika sempat berpikir untuk pindah jurusan. Namun, semuanya berubah ketika suatu hari ia mulai melakukan demonstrasi kimia di kelasnya. Ia pun mulai jatuh cinta dengan bidang yang satu ini.
“Waktu itu yang paling saya ingat itu bikin carbon power, kalo nggak salah dari gula dikasih sulfuric acid. Terus nanti gulanya itu jadi hitam kan, jadi carbon semua, karena semua air yang ada di gula itu diambil sama sulfuric acid. Jadi itu terus dia jadi kayak menara gitu,” jelasnya.
Kebebasan dalam menekuni bidang apa pun termasuk sains, selalu didukung oleh keluarganya. Ia pun selalu ingat akan pesan dari sang ibu.
“Ibu saya cuman berpesan, ‘ya nggak apa-apa ngambil jurusan kimia. Kan yang mau jalanin kamu. Asalkan kamu senang, ya nggak apa-apa. Tapi kalau nggak senang, ya ngapain diambil,” ceritanya.
Befrika menyadari bahwa dunia sains di seluruh dunia masih didominasi oleh laki-laki. Saat ini, di jurusan kimia di kampusnya, hanya ada empat orang perempuan, termasuk dirinya, diantara 17 dosen.
Melihat masih jarang perempuan yang menekuni bidang kimia atau dunia STEM pada umumnya, Befrika mengatakan, kepercayaan diri perempuan untuk berkarir di dunia ini masih kurang, bahkan terkadang perempuan merasa kurang pintar.
“Sebetulnya nggak perlu harus pintar-pintar banget. Yang penting itu kita perseverance (Red: tekun, gigih). Memang sih susah tapi kan bukan berarti, ‘ah, karena gue nggak pintar, nggak bisalah gue.’ Nggak perlu punya mindset seperti itu. Jadi ya, kayak pepatah, pisau majal kalau diasah terus, kan juga jadi tajam. Yang penting itu perseverance-nya,” tegas perempuan yang sudah menetap di Amerika Serikat sejak tahun 2005 ini.
Tidak hanya itu, tekanan sosial khususnya terhadap perempuan di Indonesia terkadang juga menjadi kendala.
“Perempuan kan, kalau sudah umur tertentu langsung ditanyain kapan kawin,” ujarnya sambil bercanda.
“Ada juga yang masih berpikiran, ‘ah, kita kan perempuan. Ngapain sih, ngoyo-ngoyo banget.’ Karena takdir perempuan itu kan, sebaik-baiknya perempuan itu kan yang mengasuh anak. Nah, bukannya itu tidak baik ya. Itu bagus. Tapi bukan berarti terus karena kita mau mengasuh anak, mau membangun rumah tangga, harus meng-eliminate kemungkinan yang lain. Tapi ya, namanya hidup, itu pilihan kan?” tambah lulusan S2 jurusan kimia dari The University of Tulsa, Oklahoma ini.
Sebagai salah satu dari segelintir perempuan di fakultasnya, Befrika kerap diminta untuk menjadi perwakilan jurusannya dalam merekrut mahasiswa, khususnya yang perempuan.
“Kita harus jadi role model, kalau misalkan dimana-mana laki lagi, laki lagi. ‘Ngapain sih, kita harus kayak begitu?’ Loh, ya justru harus, karena enggak ada perempuannya,” tegas lulusan S3 jurusan kimia fisik dari Oklahoma State University, Oklahoma ini.
Meneliti Sambil Berdakwah di Laboratorium
Sebagai perempuan muslim berkerudung satu-satunya di kampus yang terasosiasi dengan gereja presbyterian, Befrika kerap menjadi sorotan. Seringkali ia diundang ke berbagai kelas dan acara, untuk berbagi pengalamannya sebagai seorang muslim.
“Banyak mahasiswa yang belum pernah punya interaksi dengan orang islam. Jadi satu-satunya yang mereka tahu tentang islam, cuman informasi dari media,” ujar dosen yang juga pernah mengajar kimia di Arkansas Tech University ini.
“Banyak yang suka bertanya, ‘kenapa kok kepala kamu ditutup?’ Terutama kalau sedang lab. Kalau misalkan lab itu kan enggak selalu kerja terus ya. Jadi, misalkan mereka sudah campur bahan-bahan kimia, harus nunggu 1 jam. Sebelum produknya diisolasi, nah, itu sambil nunggu, mereka suka berdiskusi kan, suka tanya-tanya. Jadi sekalian berdakwah juga, enggak cuman tentang kimia saja, jadi interesting sih,” tambahnya sambil tertawa.
Dukung Perempuan Tekuni STEM
Pengalaman hidup Befrika dan Diandra membuat keduanya terus ingin mendukung kaum perempuan yang memiliki cita-cita terjun ke dunia STEM.
“Perempuan enggak perempuan, kalau misalnya minat sains, didukung. Apalagi perempuan. Karena, banyak yang bilang kita enggak perlu dan nggak bisa gitu,” tegas Diandra.
“Dunia sekarang sebenarnya perlu banget orang-orang, mau perempuan, mau laki-laki, mau apa gitu kan, perlu banget masuk ke sains, karena menurut aku banyak masalah-masalah global, kayak sampah, energi, pandemic, segala-segala yang perlu minat dan bakat kita,” tambahnya lagi.
Befrika juga mendorong agar perempuan jangan takut untuk masuk ke dunia yang masih didominasi oleh laki-laki ini.
“Jangan berpikir, ‘ah, saya kan perempuan. Saya kan enggak sehebat mereka. Lho, enggak. Kita sama hebatnya dengan mereka,” ujar Befrika.
Untuk kedepannya, Diandra masih akan terus membuka peluangnya sebagai peneliti dan pengajar, begitu pula Befrika yang akan terus menekuni dunia yang ia cintai. [di]