Sejak Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan Undang-undang nomor 17 tahun 2013 mengenai Organisasi Kemasyarakatan (ormas) Juli lalu, polemik pun tak terhindarkan. Ini dikarenakan Perppu tersebut tidak mewajibkan pemerintah mengikuti proses pengadilan untuk membubarkan sebuah organisasi kemasyarakatan, hal yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dan melanggar konstitusi.
Pemerintah beralasan Perppu itu diperlukan untuk mengatur kebebasan berpendapat dan berserikat, serta membubarkan ormas-ormas mengancam keamanan dan persatuan negara. Namun, kubu yang menolak perppu itu meyakini keputusan itu bisa menghancurkan demokrasi dan mendorong pemerintah bertindak otoriter.
Kurang dari dua pekan setelah Perppu No.2/2017 itu dikeluarkan, pemerintah mencabut status hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi massa ini kemudian mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pelarangan HTI dan upaya hukum yang dilakukan membuat sebagian umat Islam meradang. Sejumlah ormas Islam beraliran moderat bahkan ikut berunjuk rasa menolak perppu tersebut.
Selasa siang (24/10) Rapat Paripurna DPR yang dipimpin oleh Fadli Zon akhirnya mengesahkan Perppu nomor 2/2017 menjadi undang-undang melalui pemungutan suara.
"Dari anggota yang hadir, 314 setuju dengan perppu dan 131 anggota tidak setuju, dengan total 445 anggota yang hadir dan terdaftar. Karena itu, dengan mempertimbangkan berbagai catatan yang telah disampaikan fraksi-fraksi yang ada, maka rapat paripurna menyetujui Perppu nomor 2 tahun 2017 menjadi undang-undang," kata Fadli.
Dari sepuluh fraksi di DPR, tujuh fraksi yang menerima Perppu Nomor 2/2017 adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Nasional Demokrat, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat.
Partai Demokrat, PPP dan PKB menyatakan bahwa setelah ditetapkan sebagai undang-undang, akan dilakukan revisi dalam program legislasi.
Tiga fraksi lain yang menolak adalah Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Amanat Nasional.
Ahmad Muzani dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya menjelaskan peran ormas selama ini sangat besar sejak perjuangan mencapai kemerdekaan sampai dalam proses pembangunan saat ini. Ditambahkannya, banyak ormas lahir sebelum kemerdekaan, seperti Syarikat Dagang Islam, Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, dan semua berperan aktif dalam kemerdekaan dan pembangunan bangsa.
Hingga saat ini menurutnya terdapat sekitar 436 ribu ormas ada di Indonesia dan semua berniat membangun Indonesia berdasarkan ideologi Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Muzani menekankan peran ormas sangat strategis dalam memelihara keberadaan sistem politik yang demokratis, sehingga perppu itu melanggar putusan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah konstitusi dalam putusannya pernah menyatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi presiden jika ingin mengeluarkan perppu adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai dan persoalan hukum itu tidak dapat diatasi melalui pembuatan undang-undang lewat prosedur yang biasa.
Muzani menegaskan bahwa Perppu Nomor 2/2017 telah melanggar ketiga syarat tersebut.
Muzani juga sangat menyayangkan hukuman berlebihan, yaitu antara 5-20 tahun penjara – dan bahkan sampai seumur hidup – terhadap pimpinan ormas terlarang. Hukuman ini juga berlaku terhadap anggota pasif suatu ormas.
"Terjadinya tafsir tunggal terhadap Pancasila. Tidak ada satu badan pun selama ini dianggap pantas menilai Pancasila. Atas dasar itu, tidak pantaslah tafsir terhadap Pancasila hanya diberikan tunggal kepada pemerintah. Kedua, peran yudikatif, pengadilan, yang selama ini menjadi rujukan perselisihan berbagai kelompok atau ormas maka diambil alih oleh pemerintah," ujar Muzani.
Dalam pidato mewakili pemerintah usai pengesahan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjelaskan pemerintah menemukan ormas yang mengembangkan paham atau ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 ; dan ini tidak termasuk dalam paham atheisme, komunisme, Leninisme, atau Marxisme yang berkembang cepat di Indonesia.
"Perppu nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 17 tentang Ormas merupakan penegasan komitmen pemerintah terhadap ideologi bangsa Indonesia dalam rangka mempersatukan bangsa," kata Tjahjo.
Tjahyo juga mengatakan pemerintah tidak keberatan jika terjadi revisi terhadap undang-undang ormas, tetapi dia mensyaratkan bahwa revisi tidak dilakukan terhadap aturan tentang ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia memiliki pandangan berbeda mengenai perppu tersebut. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama Said Aqil Siradj setuju dengan pengesahan Perppu Ormas ini menjadi undang-undang. Menurutnya ormas-ormas yang tidak sejalan dengan Pancasila memang harus dibubarkan.
"Keputusan yang tepat dan tegas untuk menyelamatkan keutuhan bangsa ini.Pokoknya ormas atau LSM yang tidak memuliakan dan menghormati Pancasila apalagi sampai mengkritik, menghina harus dibubarkan," tandas Said Aqil.
Sementara, Ketua PP Muhammadiyah Hajrianto Thohari lebih menyetujui undang-undang ormas yang sudah ada sebelumnya. Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah tambahnya siap melakukan pendekatan dengan ormas yang tidak sejalan dengan Pancasila.
"Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah bertugas mengajak secara persuasive agar kalau ada ormas yang anti pancasila sadarkan. Oleh karena itu Muhammadiyah lebih memilih UU tentang ormas yang dulu sebelum lahirnya Perppu. Dalam UU ormas itu diatur bagaimana proses dan mekanisme pembubaran ormas yang dituduh sebagai anti Pancasila," papar Hajrianto.
Pengesahan Perppu Ormas menjadi undang-undang diwarnai unjuk rasa dari berbagai organisasi di depan gedung DPR/MPR Senayan. Mereka menilai pengesahan tersebut pertanda buruk bagi kehidupan demokrasi, kebebasan berkumpul dan berpendapat serta berekspresi. Pemerintah juga dinilai nantinya akan secara subjektif dapat membubarkan ormas dengan dalih tidak sesuai Pancasila. [fw/em]